Warning: call_user_func_array() expects parameter 1 to be a valid callback, function 'coliseum_easy_horst_heating' not found or invalid function name in /home/satchd01/public_html/diary/wp-includes/class-wp-hook.php on line 324

Ahmad Dahlan Kurang Jokja

Sodara-sodara ada yang tau apa itu thin-slicing? Jika sodara-sodara ada yang pernah mbaca buku berjudul “Blink” karangannya Malcolm Gladwell, sudah pasti sodara-sodara ndak asing dengan istilah “thin-slicing”. Tapi jika sodara-sodara belum pernah nyentuh itu buku, ya okelah, berikut aku jelaskan secara singkat (berhubung malas menerjemahkan) kalo thin-slicing itu dapat didefinisikan sebagai berikut:

Thin-slicing is a term used in psychology and philosophy to describe the ability to find patterns in events based only on “thin slices,” or narrow windows, of experience. The term seems to have been coined in 1992 by Nalini Ambady and Robert Rosenthal in a paper in the Psychological Bulletin.

Nah, gara-gara baca bukunya Malcolm Gladwell di atas itu, tadi, ketika nonton film “Sang Pencerah” di Blok M, aku jadi ngerasa dapat mukjizat berupa kemampuan thin-slicing tersebut. Lebih khususnya lagi thin-slicing di seputaran menebak mana yang orang Jawa asli dan mana yang Jawa aspal.

“Sang Pencerah” ini kutonton setelah kemarinnya aku nonton “Darah Garuda”. Betul-betul rekor baru buatku bisa nonton di bioskop 2 hari berturut-turut. Biasanya, sih, sebulan sekali juga belum tentu (apalagi kalo lagi sepi gadis manis yang bisa kujadiin partner buat nonton berdua). Aku lebih sering mengandalkan Abhonk sehubungan beliau sangat-amat-sangat rajin mendonlot film-film bajakan via Indowebster. Jadi ya ndak heranlah kalo di kampus dia dijuluki sebagai “Abhiwebster, Raja Donlot dari Minomartani” gara-gara kemampuannya memuaskan dahaga teman-temannya dalam perkara menikmati film, baik film yang tidak saru maupun yang saru sekalian 😈

Film yang kutonton ini (bukan film yang saru dari Abhonk) menceritakan tentang kisah hidupnya K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah itu, sejak dia muda sampai dengan masa dewasanya ketika dia fokus menegakkan syariat Islam di kampungnya, Kauman, di Jokja sana, dan akhirnya berhasil mendirikan Muhammadiyah.

Nggak mudah, memang. Sepulangnya dari belajar agama di Arab, Pak Ahmad – yang diangkat jadi khotib Masjid Gede – dapat tentangan dari ulama-ulama sepuh di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ketika, misalnya, dia hendak meluruskan arah Masjid Gede yang miring 23 derajat dari arah kiblat.

Tidak lupa juga makian sebagai kafir dituduhkan ke Pak Ahmad sebagai konsekuensi atas usahanya memajukan umat Islam sesuai tuntutan jaman pada masa itu dengan menggunakan perkakas-perkakas buatan dan metode hasil adopsi dari para bule, sang biangnya kafir tersebut :mrgreen:

Konflik model begini memang menarik, setidaknya buat aku. Betapa tidak, jaman muda dulu aku juga sering dimaki sebagai kafir gara-gara dianggap terlalu mengadopsi pemikiran-pemikiran ala pemikir Barat oleh golongan Muslim konservatif (yang kuanggap terlalu konservatif sekali, malahan). Dan akibat perkara model inilah maka aku sendiri jadi tertarik buat nonton “Sang Pencerah”, selain karena cewek yang dulu sempet kutaksir, Zaskia Mecca, ikutan nampang di film ini.

Zaskia Mecca sekarang memang sudah jadi istrinya Hanung Bramantyo, sutradaranya film ini. Sangat disayangkan, memang. Sayang sekali Zaskia Mecca gagal merenggut keperjakaanku. Tapi, sayang buat Zaskia, itu berarti kesempatan buat kalian, duhai gadis-gadis manis lainnya.

Dan, masih membicarakan Zaskia Mecca, selepas nonton film – yang secara keseluruhan bisa jadi kebanggaan buat orang-orang Kauman, temen-temen Muhammadiyah, dan sodara-sodara Muslim setanah-air lainnya – ini, aku malah jadi beranggapan bahwa Zaskia-lah titik lemah dari film ini.

Oke, lakinya di Zaskia itu, menurutku, sudah berhasil menggarap detil setting Jokja jaman dulu. Cerita keseluruhan di film ini juga bagus; ada beberapa bagian yang membuatku sedikit tergetar waktu nontonnya. Nyaris berkaca-kaca juga sempat (meskipun nggak sampai mewek kayak pas aku nonton “Laskar Pelangi”). Tapi, oh, tapi… Ini kenapa pemilihan perannya acakadut sekali?

Hei, ini Jokja, Dab! Kalo kalian, duhai para pemeran, diminta berakting sebagai orang Kauman, maka beraktinglah sebagai orang Kauman. Jiwailah peran itu. Atau kalo nggak mampu, tolak saja sedari awal!

Aku nggak ngejek aktingnya Lukman Sardi sebagai Pak Ahmad dan akting beberapa aktor senior lainnya, meskipun di sinilah aku sadar kalo aku punya kemampuan thin-slicing yang kusebut di atas itu. Aku tau dan memaklumi kalo kalian berakting dengan berbicara menggunakan logat yang di-Jawa-Jawa-kan yang hasilnya tidak terdengar natural di kupingku. Kalian sudah berusaha. Jangan putus asa. Tapi aku nggak habis pikir kenapa lakinya Zaskia harus mendapuk istrinya itu untuk berperan sebagai Nyai Ahmad Dahlan?

Oh, no… Dear, Lord… Oom Hanung, tidak bisakah sampeyan merasakan kalo akting istri sampeyan sebagai perempuan Jawa itu sama sekali nggak nge-soul? Logat ibukotanya masih kebawa-bawa. Ekspresinya waktu nangis dan kecewa bolehlah. Tapi begitu dia ngomong… Astaghfirullah, Oom Hanung, aku bisa kenalkan sampeyan sama beberapa teman perempuan yang bisa membawakan logat Jawa dengan lebih natural.

Istri ente kali ini gagal berakting, menurutku. Dia harus tinggal dan belajar setidaknya 5 tahun dulu di rumah mertuanya buat memerankan Nyai Ahmad Dahlan. Hei, Oom Hanung, sampeyan ini konon juga orang Jokja, kan?

Itu baru perkara Zaskia. Perkara berikutnya juga bikin aku nggak habis pikir. Bisa-bisanya sutradara sekaliber Hanung Bramantyo meluputkan perkara seperti struktur bahasa Jawa ketika menggarap film dengan cerita berdasarkan kisah hidup tokoh asli Jokja.

Buat penonton yang bukan orang Jawa tulen mungkin nggak masalah. Tapi buat anak muda yang sudah nyaris 1 dekade berdomisili di Jokja, akan sangat gatel telinganya ketika menonton adegan Pak Ahmad dimarahi sama bapak salah seorang santrinya yang berkata, “Kowe nggoleki sinten? Nggoleki anak kulo?”

Duh, meskipun kalo diterjemahkan ke bahasa Endonesa artinya tetap “Kamu nyari siapa? Nyari anakku?” tapi ya tetap saja “sinten” dan “kulo” itu adalah bahasa Jawa halus yang dipergunakan ketika bercakap-cakap dengan orang yang lebih dituakan. Janggal rasanya mendapati ada orang marah-marah menggunakan bahasa Jawa halus.

Harusnya, tho, Oom Hanung, si bapak yang ngamuk ke Pak Ahmad itu berkata, “Kowe nggoleki sopo? Nggoleki anakku?”

Lagi, aku masih harus gatel ketika mendengar kalimat “teng mlebet” πŸ˜† Itu maksudnya apa? Mau ngomong “di dalam” atau “silakan masuk”? Kalo “di dalam” ya harusnya “teng lebet” (tanpa huruf “m”). Kalo “silakan masuk” ya jadinya “monggo mlebet” πŸ˜‰

Pak Sutradaranya ini kayaknya mengulangi kesalahan yang sama waktu dia nggarap film “Jomblo” jaman dulu. Dulu, dia selip juga dalam kasus dialek Jawa pas tokoh Bimo yang katanya dari Jokja membahasakan “ayo ikut” jadi “ayo melok”. Ahe, orang Jokja dan Jawa Tengah itu tidak mengucapkan “melok”, Oom. “Melok” itu dialek khas Jawa Timur. Di sebelah baratnya Jawa Timur, orang-orang bakal mengucapkan “melu” ketika men-Jawa-kan “ikut” :mrgreen:

Keliatan sepele tapi ya tetep aja ngganggu kuping. Kupingnya orang Jawa, tentu saja πŸ˜›

Lanjut, aku juga heran dengan beberapa pemilihan pemeran untuk tokoh yang menurutku nggak terlalu krusial. Misalnya aja kenapa harus make Giring Nidji – yang kaku logat Jawa-nya – buat memerankan salah-satu santrinya Pak Ahmad? Buat ngangkat pamor filmnya dengan memenuhi aktor-aktornya dengan nama-nama top di dunia hiburan Endonesa?

Buatku itu nggak masuk. Nggak tune-in. Ra nge-soul babar blas. Aku malah menilai Hanung nggak berani sedikit berjudi dengan memasang aktor-aktor lokal Jokja untuk berakting di filmnya. Tapi aku bisa maklum, kok. Sedikit-banyak ini adalah film yang membahas agama. Maka ya sudah jelas berjudi yang merupakan kegiatan haram nan dilarang agama itu sedapat mungkin disingkirkan dari proses pembuatan filmnya.

Cuma ya hasilnya jadi macam begini… Kupingku lumayan gatel walau itu nggak merusak kualitas filmnya secara habis-habisan. Setidaknya logat Jawa di film ini masih bisa diselamatkan dengan adanya Sujiwo Tejo. Seniman 1 inilah yang kunilai paling pas logat bicaranya. Nggak heran, Dab, sampeyan berurusan sama dalang wayang kulit, sih…

Dan, sodara-sodara, akhirul kalam setelah film ini selesai aku pun terpaksa jadi maklum dengan segala kekurangan yang ada di film ini begitu tahu siapa homo sapiens yang bertindak sebagai koordinator casting-nya. Ini makhluk yang kuanggap bertanggung-jawab menyeleksi pemain-pemain untuk berakting di “Sang Pencerah”. Sungguh sedih, nama manusia tersebut sayang sekali adalah: Zaskia Adya Mecca πŸ™


28 Comments

  • adhipras |

    makanya, harusnya Zaskia Mecca disuruh tinggal bareng di rumah saya untuk belajar bahasa Jawa yang fasih dan bener terlebih dahulu.. *ngarep :mrgreen:

  • Indhie |

    Matur Nuwun Mas, resensinya. Saia sangat mempertimbangkan untuk menonton CDnya saja kalau temen saia sudah pinjam di rentalan (wegah ngetokke modhal)… πŸ˜€

  • masabhi |

    nama saia kok dibawa-bawa ini? Kalo ibu saia mbaca ini bagemana? Kalo ibu saia jadi tahu kalo saia ndak ngerjain skripsi tapi malah donlot pelm bagemana?

  • gadispucatkomensubuhsubuh |

    Ealaaaahh….keduluan!huh!
    ah,padahal ya saia tadinya mau mencaci mantan mas itu di blog saia,tp sudah keluar disini duluan.yo wes…apa bole buat! πŸ™
    tenan to,rame,tp bagian castingnya memang bermasalah seperti yg mas katakan. *aku ora melu2,wong aku ntn duluan je!*
    pas de’e meneng karo mewek pol!pas ngomong,aku yg orang jawa hampir rusak saja gatel denger logat’e de’e. :)) nek de’e sempet pacaran karo kowe mesti de’e mendingan mas…hakhakhak. >:)

  • dhee |

    jadi sibuk nonton ceritanya… πŸ˜€
    biar gimana pun unsur subjektivitas akan selalu ada (kalo gak mau dibilang nepotisme).kata si hanung,istri saya kan artis juga n bisa akting juga knapa gak diberdayakan?

  • Pak Guru |

    Hahaha, konon ybs menyalahkan itu Bapak yang namanya muncul pertama kali di kredit opening film. Ngakunya banyak campur tangan. Gak tahulah.

  • Yang Punya Diary |

    christin:::
    silakan dikucek atau dicolok sekalian, semoga lekas sembuh πŸ˜›

    adhipras:::
    tidak bisa, pras. itu istri orang. nanti bisa mengundang zinah, eh fitnah

    Indhie:::
    saya senang kalo tulisan saya ini ternyata bisa membantu orang2 yang minim modal πŸ˜†

    masabhi:::
    makanya, bonk, jangan ngeband terus. kalo kamu nggak ngeband kan waktu ngebandmu bisa dialokasikan buat nggarap skripsi, terus waktu nggarap skripsinya bisa diperuntukkan buat donlot film. dan semua makhluk pun berbahagia

    gadispucatkomensubuhsubuh:::
    diiih…nyalahin πŸ˜›
    kalo mau nulis ya nulis aja sana. sapa tau, semakin banyak yang protes, hatinya hanung tergerak buat memecat istrinya; baik dalam produksi filmnya ataupun dalam kehidupan rumah tangga. dan saya menerima barang 2nd berkualitas πŸ˜›

    dhee:::
    istrinya si hanung memang bisa akting. tapi dia gagal ketika “bisa akting” itu ditambahi dengan “jadi perempuan jawa”

    sheva1982:::
    kalo yg harus dibandingkan adalah sang pencerah dengan laskar pelangi, jawabannya: iya, belum sekelas riri. tapi rasa2nya masih terlalu pagi untuk membandingkan 2 orang itu. nantilah kita liat setelah 20 tahun mereka berkarya :mrgreen:

    Pak Guru:::
    eh “ybs” ini mengacu ke siapa? hanung atau zaskia atau saya selaku pihak ketiga?

  • GadisPucatKomenTengahMalam |

    yaelah…
    bilang aja mau nampung hasil pecatan pak sutradara….
    hakhakhak…
    tapi nunggu lahiran mas, kan bole cerai kalo uda lahiran…
    nanti kalo suda lahiran hatinya luluh sama bayinya trus gak jadi cerai, gak jadi donk 2nd berkualitasnya…
    *niatmatahinmimpinyamasnya*

  • unda unda |

    wah…
    untung yang maen bukan destian, bisa jadi bahasa jawa bukan, bahasa indonesia juga ga pas… hahahahaha

    Lukman sardi, Donny Alamsyah, Dwi Sasono are still the best klo masalah penjiwaan karakter. Untuk lokal loh…

  • dhee |

    akhirnya bisa diakses lagi….

    sesudah dikasih repiunya tapi masih ngeyel nonton.
    ternyata emang aseli mengecewakan.
    walo saya bukan orang jawa, tapi tinggal di sekeliling orang jawa.
    mantan pacarmu memang mengecewakan.

  • aphip_uhuy |

    begini pak jon.. menurut ane bahasa dlm film itu dah lmyn bagus koq.. klo emg mau dibuat mirip ya ntar yg nonton pd gak tau artinya.. cb anda liat film band of brother..ada adegan slh 1 tentara yg blg what the fuck.. apa ya jmn perang dulu dah ada istilah itu.. disini mngkn sang sutradara hanya ingin menyampaikan maksud dari sang tokoh dg bahasa yg sesuai dg jmn skrg..jd ya klo mnrt saya,mslh logat gak bgtu mslh bgt..org klo digarap bneran mana ada org kauman pake basa ngoko alus,pastinya kromo alus smus..apalagi jmn sgitu..he3.. CMIWW

  • Yang Punya Diary |

    GadisPucatKomenTengahMalam:::
    ya sudah, saya balik sama ayu aja kalo gitu πŸ˜›

    unda unda:::
    tapi destian juga bagus lho kalo masalah penjiwaan. liat aja film himakom waktu dia jadi marbot musholla. yang kaco cuma disleksianya πŸ˜†

    dhee:::
    upah orang ngeyel 😈

    aphip_uhuy:::
    logat sama struktur, kalo yang ta’maksud, adalah 2 hal yang berbeda.
    bahasa yang sesuai dengan jaman skrg pun tetep aja “kowe nggoleki sinten” adalah bahasa yang janggal. diucapkan dalam logat mana pun juga seharusnya struktur bahasanya jangan berubah.

    lalu, dialog bahasa jawa di filmnya digarap kromo inggil sekalian pun juga nggak masalah. toh ada subtitlenya kan? maka tidak logis rasanya ada alasan khawatir yang nonton nanti nggak tau artinya.

    wong dengan dialog ngoko yang ada di filmnya sekarang, terus filmnya diputer di daerah pulau jawa bagian barat sedikit aja, penontonnya sudah pada nggak ngerti sama bahasa yang kepake kok. hanya saja buat yang ngerti struktur bahasa jawa ya jadinya ya mengganggu kuping.

    tentang logatnya zaskia, well, akan terasa sangat mencolok ketika dalam 1 film pemeran orang jawanya pada berlogat jawa semua (meskipun jawa-jawaan dan kaku), tapi ada 1 pemeran orang jawa yang masih beraksen ibukota 😈

  • dhee |

    tapi dimana-mana kalo dah bawa-bawa bahasa daerah, pasti banyak janggalnya. apalagi kalo yang ngomong bukan orang aseli daerah tersebut.
    contohnya di laskar pelangi dan sang pemimpi, walo udah diminimalisir dengan menggunakan pemain lokal, tetep aja ada bahasa yang janggal. padahal konon…. mathias muchus orang palembang yang bahasa nya mirip dengan bahasa melayu (yang dipake di belitong), trus si ariel juga orang pangkalan brandan bahasa yang dipake disana juga bahasa melayu. yang paling parah sih, si rieke dyah pitaloka. dialek nya ancur, janggal nian.
    untungnya lagi, riri dan mira yang jadi sutradara. jadi skor nya masih bisa 8. coba kalo hanung, apa gak lebih ancur kayak ayat-ayat cinta? (tu film yang paling nyesel aku tonton).

  • septo |

    sengojo kui si hanung, ben dibahas uwong ning blog e dewe-dewe, dadi rame, njuk dho penasaran, dadine dho mikir “mosok to? mosok sih?” nha sing rung nonton dadi penasaran, njuk dho tuku tiket, nonton, njuk film e laris, lagi bar nonton njuk dho mikir meneh, “ooo iyo yo, bener opo jare si X, si Y, de el el” njuk dho nulis meneh ning blog e dewe2 meneh, opo di twit, opo piye carane, nah film e lak tambah laris, njuk mubeng meneh siklus e, yo ngene iki, pinter to si hanung πŸ˜†

  • denbagus |

    sampeyan harus baca buku selanjutnya mas .. THE TIPPING POINT ( Malcolm Gladwell )

    pola yang di terapkan hanung setidaknya ada beberapa mirip THE TIPPING POINT

  • Yang Punya Diary |

    kunderemp:::
    semestinya. soale toh pada dasarnya penonton endonesa sudah biasa mbaca subtitle, kok πŸ˜€

    dhee:::
    itu dia. dialek yang salah jadi nggak masalah buat penonton yang nggak ngerti dialek yang seharusnya. tapi itu jadi masalah kalo penontonnya ngerti. dan karena kebetulan saya ngerti, ya jadinya saya protes πŸ™‚

    septo:::
    ahahaha, hebat juga, berarti. dia sudah memperhitungkan film ini bakal ditonton sama penonton yang kritis tentang bahasa jawa kromo sekaligus blogger-rajin-ngapdet sejumlah berapa orang πŸ˜†

    portal berita:::
    senang rasanya jadi trendsetter, setidaknya bagi anda πŸ˜€

    denbagus:::
    sebentar…saya malah bingung…ini tentang yang sebelah mana dari tipping point? popularitas? word of mouth? secara keseluruhan memang film ini bisa diacungi jempol. tapi kebetulan yang ta’protes adalah detail-detail kecil yang kupikir tidak akan diperhatikan sama penonton yang nggak ngerti struktur bahasa jawa. tapi, yeah, saya bisa ngerti kalo itu seputar pemilihan pemerannya

    gingsul:::
    kowe jowo timuran, nduk. saya butuh orang jokja, hahaha

  • bocahmunglewat |

    waduh, lengkap men nggonmu mbahas film iki mas joe, dadi ngerteni opo sing wingi ora tak perhatekke, saking aku fokus nggon jalan ceritane karo latar belakang sejarahe..

    sip lah, kudune sesuk2 sampeyang sing didapuk dadi koordinator casting yo.. πŸ™‚

  • Yang Punya Diary |

    ah, ga lengkap-lengkap banget, yan. cuma yang paling gatel ya bagian bahasa ngoko kecampur kromo itu. pilih salah satu aja, deh: “njenengan madosi sinten? madosi anak kulo?” atau “kowe nggoleki sopo? nggoleki anakku?” πŸ˜†

  • ken |

    hehhehhe….sip dikupas abis mas joe…..! kalo aku baca tulisan sampean…..kok jadi inget umar kayam…*(pak ageng-ku)….!wong yugjo ….gak mengada-ada….gak di tutup2 i….tapi yang penting….pesan yang di sampaikan film tersebut….dahsyat lho mas joe….!

So, what do you think?