“Kayaknya lebih baik kamu nggak usah kenal aku terlalu dekat, deh, Joe.”
“Lha, kenapa?” tanyaku.
“Dunia kita beda. Kamu orang baik, aku…aku ya kayak yang kamu lihat gini.”
“Gini gimana?” lanjutku sambil mesem.
“Nggak usah pura-pura bego, deh.”
“Ah, nggak ada gunanya juga. Aku pura-pura pun kamu juga tetap tahu kalau aku ini aslinya pinter,” elakku.
“Kebiasaan.”
“Jadi, ‘gini’ itu gimana?”
“Aku, kan, rusak. Nanti teman-temanmu heran lagi, kok, kamu nggak habis-habisnya bergumul dengan cewek yang aneh-aneh?”
“Oh, komentarnya si Wiwid ya? Nggak usah didengerin. Omongan kumpulan kami jangan diseriusin. Cuma menghasilkan lapar dan dahaga saja kalau terlalu kamu pikirin,” jelasku.
“Ya intinya, kan, gitu. Duniaku sama duniamu beda. Kamu baik, aku rusak.”
“Kalau gitu malah justru. Hobiku memang mbenerin barang antik.”
“Mulai lagi…”
“Hahaha, kamu juga, sih, berbelit-belit. Serusak-rusakmu memangnya kenapa kalau kita sering jalan? Aku cuma minta ditemenin ngopi, ngobrol. Upahnya, kamu kutraktir. Aku nggak minta yang aneh-aneh…atau, jangan-jangan kamu takut kalau ternyata aku ini pedekate ke kamu? Eh, salah, ding. Atau jangan-jangan kamu takut kalau kamu sampai jatuh cinta sama aku?” tanyaku sambil memutar-mutar rokok putih di tanganku. Dia melirik. “Ambil,” lanjutku sambil mengangsurkan kotak rokokku sekaligus koreknya.
“Aku bawa korek sendiri, kok.”
“Terus?” Kuseruput kopiku. Eh, bukan. Bukan kopi. Ini cappuccino. Kata beberapa temanku yang hobi njajalin warung kopi, cappuccino itu bukan kopi. Kalaupun kopi, kopi banci, kata mereka. Ngopi yang nge-soul itu ya minum kopi yang cuma diseduh air panas. Tanpa gula. Lagi-lagi itu menurut mereka.
“Ya justru itu malah makin aneh. Aku nggak biasa nongkrong sama cowok yang nggak jelas apa maunya, kayak kamu.”
“Lha, memangnya yang jelas itu yang kayak apa?”
“Udah, deh. Kamu orang baik, aku pendosa. Jelas? Dunia kita beda. Titik.”
“Pendosa itu apa, sih?” Isengku mulai keluar.
“Bodo!’
“Hei, kamu, kan, juga tahu, kalau ngomong sama aku argumenmu harus valid. Oke, nggak usah manyun gitu. Aku paham maksudmu dari awal. Sekarang dengerin aku,” kataku.
“Ya.”
“Aku lahir dan gede di Denpasar. Sekarang kalau kamu mau bicara soal dosa, aku, dari sudut pandang keyakinan mayoritas teman-temanku di sana, adalah seorang pendosa. Mereka, dari sudut pandang imanku, adalah pendosa. Toh nyatanya kami tetap berteman sampai sekarang. Soal pendosa dan bukan pendosa, apa bedanya dengan kita?” tanyaku.
“Lah, itu, kan, beda.”
“Bedanya?”
“Ini bukan soal perbedaan agama. Ini soal…yah, kamu tahulah.”
“Oke. Kamu mau bilang kebiasaanmu yang kalau menurut sudut pandang Islam adalah dosa?” cobaku membatasi permasalahan.
“Ya.”
“Kamu mau tahu pandanganku soal konsep dosa?”
“Kayak gimana?”
“Menurutku – ini menurutku, lho – yang bisa kita sebut sebagai ‘kita berdosa’ itu cuma kalau kita merasa nggak enak ketika kita melakukan sesuatu atau setelahnya.”
“Terus?”
“Terus, ya…tergantung. Kamu merasa nggak enak nggak, ketika kamu melakukan perbuatan yang kamu lakukan?” tanyaku lagi.
“Tetap saja menurut agama, apa yang aku lakukan ya dosa.”
“Iya, kalau kamu merasa terikat dengan konsep agama. Islam, dalam hal ini. Tapi, kan, nggak ada yang menyuruhmu untuk terikat sama konsep Islam. Hidup, ya hidupmu. Sesukamulah mau kamu jalani dengan cara seperti apa. Kamu nyimeng, nge-drugs, itu tubuhmu. Kamu makan babi, itu lidah sama perutmu sendiri. Bahkan kalau kamu tidur sama cowok-cowok yang katamu lebih jelas ketimbang aku itu tadi, itu tempik ya tempikmu sendiri. Terserah kamu. Bebas.”
“Tapi…”
“Sebentar dulu. Aku belum selesai,” potongku. “Dengar, apapun yang mau kamu lakukan, sebenarnya di agama yang tertera di katepemu itu nggak ada paksaan dalam beragama. Aslinya hidupmu bebas mau ngelakuin apa aja, selama nggak ngganggu sesamamu. Misalnya, sekalipun nanti kamu beneran suka sama aku, jangan ngajak aku ngentot sama kamu.”
“Ngaco kamu. Nggak mungkin aku suka sama kamu.”
“Semua cewek tadinya juga bilang gitu, kok.”
“Terusin.”
“Ya intinya gitu. Aku nggak akan ngentot sama kamu, soalnya aku merasa terikat sama konsep Islam. Karena di agama itu dilarang, aku bakal merasa dosa kalau melakukannya. Dan cuma orang goblok aja yang mau berbuat dosa, mau ngerjain sesuatu yang dia sendiri pun nggak enak waktu ngerjainnya.”
“Tapi, kan, tetap saja orang taunya agamaku Islam.”
“Lho, memang. Tapi peduli apa sama orang lain? Kamu ya kamu. Kalau kamu merasa konsep agama nggak cocok buat hidupmu, tinggalin. Kamu nggak punya kewajiban buat hidup dalam konsep yang nggak kamu yakini, kok. Sekarang, selama ini, waktu ngelakuin semua kebiasaanmu, apa rasanya? Enak atau gimana?”
“Ya biasa aja, sih. Udah kebiasaan kali ya.”
“Ya sudah. Kalo biasa aja ya berarti nggak pada tempatnya kamu bilang dirimu itu pendosa, wong kamu nggak ngerasa ngelakuin dosa, kok.”
“Tapi, kan, biarpun aku ngerasa biasa aja, menurut agamaku tetap aja dosa.”
“Agama opo? Islam?” aku terkekeh. “Wong kamu nggak merasa terikat sama konsep Islam, kok, sekarang malah ngeributin menurut Islam dosa apa enggak? Ya gampang aja, menurut agama Islam, mabuk itu ya dosa, makan babi ya dosa, zina ya dosa. Cuma kamu, kan, nggak make aturan Islam buat hidupmu. Sudah beda urusan ini.”
“Kok, kamu ngomongnya gitu, sih?”
“Lho, memang iya, kan? Sekarang aku mau blak-blakan. Memangnya kenapa kalau kamu bukan orang Islam? Ada problem? Nggak ada. Pol mentok paling-paling cuma kamu takut ngecewain orangtuamu kalau sampai mereka tahu kamu nggak hidup dalam konsep agama yang mereka anut. Iya, kan?” tanyaku sambil sok tahu.
“Mungkin.”
“Lha, gampang banget kalo gitu. Tiap pulang mudik, kalo Lebaran, misalnya, pura-pura aja ikut ngerayain. Pura-pura aja ikutan shalat ied. Anggap aja senam pagi-pagi. Yang penting dijaga jangan sampai mereka kecewa, jangan sampai mereka tahu. Sisanya, kamu bisa hidup sesuai jalan hidup yang kamu mau. Apa susahnya akting, apa susahnya pura-pura? Beres perkara.”
“Kok, kesannya kamu mau bilang kalau aku nggak berhak lagi ngaku orang Islam?”
“Well…sorry kalau kamu ngerasanya jadi gitu. Tapi maksudku nggak kayak gitu. Kamu boleh, kok, ngaku ke orang-orang kalau agamamu itu Islam. Harus malah, supaya orangtuamu nggak kecewa. Aku bilang, silakan, ngaku aja ke orang-orang. Toh pada akhirnya kamu sendiri yang tahu, hidupmu itu sesuai konsep Islam atau nggak? Enggak pun bukan masalah. Aku cuma masalahin label pendosa yang kamu bilang tadi. Dan menurutku, ya kamu bukan pendosa.”
“Terus?”
“Terus…ya aku tolak saranmu supaya kita nggak sering-sering ngopi bareng. Aku nggak pernah punya masalah dengan teman yang dari kacamata imanku adalah pendosa, selama yang bersangkutan tiap ngutang pasti mbayar. Soalnya, buat yang agamanya beda, dari kacamata imannya pastilah aku juga dipandang sebagai pendosa. Tapi kita berteman nggak perlu mandang keyakinan, kan? Selama menurutmu yang kamu lakukan itu biasa aja, it’s fine. Nggak ada problem buatku selama kamu nggak ngajak aku makan babi. Aku cuma nggak mau kamu ikut-ikutan gobloknya Awkarin, ngerasa dosa tapi tetep aja dikerjakan. Soal goblok, itu beda perkara lagi. Mungkin saranmu bakal kuterima kalau alasannya adalah kamu itu goblok, bukan pendosa. Konon, goblok itu menular. Makanya aku nggak mau temenan sama orang goblok. Takut ketularan.”
“Oke, aku paham.”
“Bagus. Aku memang cuma mau temenan sama orang-orang pinter, kok.”
“Brengsek.”
“Nama tengahku.”
“Satu lagi.”
“Apa?” tanyaku.
“Soal makan babi. Kamu gede di Bali, kan? Kamu yakin nggak pernah makan babi? Kamu beneran nggak mau kuajak makan babi?”
“Ya kamu beliin aja. Bungkusin. Habis itu bilang ke aku kalo itu daging kebo dari Samoa Amerika. Selama aku nggak tahu, kan, aku bakal di-ma’fu.”
Klean semua suci.. Aku penuh sodaa.. Aakwaa sprit panta kolaaa… Mijoon mijooon…
wah, cen lambe2 salero jando yo ngene iki…
huwaaaaah…. Super sekalii..
Aku donk pengen ngopi bareng kamu yang nulis tulisan ini…
di gor sumantri kemarin kurang lama?
kurang lah..
Pak saya mau di temani ngebir bukan ngopi, mau? Saya alim kok yakin Sung
tulisanmu rasanya lebih apik nek gak lagi di kerasnya kehidupan ibukota mas jon
Dee:::
ah, manusia…selalu sahaja merasa kurang
catonx:::
yo, suk yo, bol. nek kowe opo si ical patah hati meneh. amin
ernesernesto:::
jakarta itu – buat saya – pancen kontraproduktif e, nes
yah.. untungnya saya masih seorang manusia.. kalau malaikat ya smuanya serba cukup…
Tapi tapi tapi…
this is my 15415161651656th attempt to put my comment here because every time I tried to leave any, kolom URL pasti selalu nuntut buat diisi (padahal udah) seolah apa yang gue tulis di sana nggak berarti apa-apa. kray.
kenapa sih kok bisa gitu?
(P.S.: gue akhirnya komen lewat login akun facebook sih)
Dee:::
hmm…leh uga
Wintyanto:::
sudah. jangan protes. apalagi protesnya nggak selesai
Zulfana Desnatya Imama:::
wah, masak iya? padahal yang lainnya bisa lho. apa pas garagara server saya lagi ngaco ya? mohon maaf atas ketidaknyamanannya
Oke, Jadi ini percobaan saya yang ke 15415161651657. Bisa nggak ya komen via account blogger? Hmm. Kalau keposting berarti bisa…
aman…aman…situasi terkendali