Kalau beberapa temanku mood-nya lagi jelek, kadang aku suka ngeliat apdetan status mereka di social media-nya mengunggah meme atau quote soal betapa mereka nggak suka dihakimi sama orang lain. Mangkel, nesu, mutung karena dinilai salah sama orang lain. Penilaian ini tentu saja termasuk perkara subyektif, ya namanya aja juga manusia. Hanya saja, soal nggak mau dinilai salah sama orang lain pun adalah hal yang sama subyektifnya. Pada masanya, nanti ketika tidak bisa mencapai mufakat, masing-masing pihak akan memendam kekesalan terhadap pihak lainnya. Si A nggak suka sama si B karena si B sudah berbuat salah, si B nggak suka sama si A karena si A sudah menilainya berbuat keliru. Mbulet melulu di situ.
Tapi apa iya sembulet itu? Menurut hematku – walaupun aslinya aku ini orang yang boros dan gemar berfoya-foya – problematika ini aslinya ya enteng-enteng saja. Banyak orang yang menolak di-judge orang lain cuma gara-gara nggak peduli sama hakikat penghakiman itu sendiri. “Don’t judge me blablablablabla…” kata mereka. Sungguh, buatku penolakan seperti itu adalah hal yang awur-awuran sekali, bertentangan dengan kodrat manusia nan sesungguhnya. Entah siapa yang pertama kali mengenalkan pernyataan zonder mutu seperti itu?
Lha, iya lho… Permohonan supaya “saya yang papa ini mbok ya jangan dihakimi semena-mena” menurutku adalah hasil kesimpulan dari premis-premis yang saling bertabrakan. Pertama, apa iya sampeyan ini benar-benar nggak boleh dihakimi sama orang lain? Kedua, apa iya orang yang menghakimi sampeyan sudah pasti melakukannya tanpa analisis sama sekali? Ketiga, apa iya pernyataan sampeyan itu konsisten dan tidak mengandung standar ganda (baik ganda campuran maupun ganda kembang) sepanjang masa?
E’ek kebo!
Jawaban pertama sudah tentu boleh. Kata siapa kita nggak boleh dihakimi sama orang lain, sementara hidup ini isinya memang cuma penghakiman antara sesama kita? Buatku penghakiman yang kita terima itu memang sudah seharusnya. Yang berhak menilai siapa dan bagaimana kita itu, kan, bukan kita sendiri, melainkan orang lain yang merasakan sikap dan tingkah-laku kita, kan?
Yang berhak menilaiku sebagai orang baik ya jelas bukan aku sendiri, melainkan mereka-mereka yang merasakan kebaikan dari tingkah-lakuku. Yang boleh mengecapku brengsek pun juga begitu. Mereka yang menganggapku melakukan hal yang merugikan merekalah yang punya otoritas untuk berkata, “Si Joe ancene diancuk!”
Jadi kenapa tidak terima?
“Aku nggak kayak gitu” itu, kan, cuma perasaan kita sendiri aja, dan bukan perasaan orang lain terhadap kita.
Tapi ya wajar kalau kita nggak terima. Berapa, sih, jumlah manusia di dunia ini yang paham makna dari kalimat “Karmany eva dhikaraste ma phalesu kadacana”, yang artinya adalah “Hanya berbuat merupakan kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu yang kamu pikirkan”? Nggak banyak. Karena nggak banyak itulah maka umumnya manusia nggak menyadari bahwa kita – selaku manusia – nggak punya kemampuan untuk mengontrol feedback yang kita dapatkan dari orang lain. Yang bisa kita lakukan cuma mengontrol perbuatan kita, bukan tanggapan atas hasil perbuatan kita π
Jawaban kedua, kata siapa? Kata siapa setiap penghakiman adalah sebuah bentuk kesemena-menaan? Kalo iya, ya nggak bakalan ada yang judulnya Jurusan Ilmu Hukum di kampus-kampus π
Siapa bilang nge-judge itu diawali tanpa analisis? Justru karena sudah dianalisislah makanya orang bisa nge-judge. Perkara analisisnya dalam atau nggak, sampelnya sudah cukup bin valid atau belum, itu beda perkara lagi. Lagipula, pada perkara judge-judge-an dalam konteks pop culture ini, analisis yang mendalam itu nggak sebegitu perlunya, kok.
Misalnya, sampeyan kenalan sama gadis lalu kemudian sampeyan naksir. Si gadis tadinya juga tertarik sama sampeyan. Hanya saja semuanya berubah jadi bencana ketika si gadis tiba-tiba mundur teratur. Usut punya usut, hal tersebut ditengarai karena pas si gadis mempelajari karakter Anda via social media, dia mendapati apdetan status ngana yang isinya cuma keluh-kesah belaka. Wajar, dong, kalau kemudian alih-alih memilih Anda, si gadis akhirnya memutuskan untuk suka sama Mas Joe sahaja. Mas Joe emosinya lebih terkontrol, sih. Selain itu masa depannya Mas Joe juga lebih menjanjikan π
Ente boleh saja ngeles, “Lho, itu, kan, cuma social media. Hari gini masak iya ada orang yang percaya kalau dunia maya itu sama dengan dunia nyata?”
Tapi justru entelah yang bahlul kalau berpendapat macam gitu. Dewasa ini (cieeeh…pake “dewasa ini” segala. Sok paten. Sok akademis!) memang begitulah cara kerja interaksi sosial di Planet Bumi. Kalau nggak percaya, coba situ baca dulu buku “The Thank You Economy” karangannya Gary Vaynerchuk. Ketika ente berhak menampilkan citra apapun di dunia maya, orang lain juga sama berhaknya menilai ente berdasarkan apa yang ente tampilkan. Jangan egois. Jadi manusia, kok, maunya menang sendiri?
Lagipula aku berpendapat kalau dunia maya bahkan lebih nyata dari dunia nyata yang sesungguhnya. Di Internet, sampeyan bisa menampilkan sisi asli sampeyan dengan lebih leluasa ketimbang di dunia nyata, di mana sampeyan masih bisa takut ditempeleng orang ketika kepengen mengekspresikan sesuatu. Bigot-bigot religius dan para libertard itu, misalnya.
Itu sampel di mana si gadis masih baik, masih mau melakukan studi literatur dulu terhadap kepribadian Anda. Ada pula kasus ketika kita dihakimi tanpa si hakim tahu alasan-alasan kita. Tapi meskipun demikian, bukan berarti beliau nggak berhak menghakimi kita. Soalnya yang beginian memang nggak perlu analisis mendalam.
Sebagai ilustrasi (duileee…sekarang malah pake “sebagai ilustrasi” pula), kita bikin janji buat rapat soal reklamasi Teluk Jakarta sama orang lain. Celakanya pada saat kita harus menepati janji, kita mendapati halangan dan rintangan membentang sampai akhirnya kita batal menepati janji. Tanpa perlu tahu alasan kita pun orang yang kita ajak janjian sudah punya cukup hak untuk men-judge kita sebagai pembohong, tukang ngibul, ahli spik-spik babi. Walaupun kita punya segudang alasan valid kenapa kita nggak bisa menepati janji – misalnya kita kena razia polisi bangke berhubung tanggal tua – tetap saja pada faktanya kita nggak bisa menepati janji. Iya, kan? Iya, dong. Bahkan, mati sekalipun, kita tetap nggak bisa melarang orang lain buat menghakimi kita sebagai orang yang ingkar janji.
Makanya di film-film suka ada monolog, “Rika pembohong! Rika bilang, rika bakal mendampingi inyong selamanya. Nyatanya sekarang rika malah mati duluan!” sambil yang ngomong nangis sesenggukan di samping jenazah.
See?
Jawaban ketiga, justru penghakiman antar sesama manusialah yang membuat interaksi sosial antar kita ini bisa berjalan dengan dinamis. Ingat, dong, waktu kita pertama kali masuk sekolah, jadi murid baru di situ. Apa yang mendorong kita untuk mengobrol dan berkenalan dengan orang baru? Ya, penghakiman. Kita merasa ada manusia di dekat kita yang menurut kita sama-sama murid baru, nggak berbahaya, dan kayaknya enak diajak ngobrol ketimbang kitanya ngelamun jorok. Maka kita ajak dia kenalan dan ngobrol.
Apa coba itu namanya kalau bukan penghakiman?
Iya, aku juga paham kalau itu jenis penghakiman yang bahasa Arab-nya adalah “husnudzon”, yang artinya adalah “berbaik-sangka”. Hanya, mau berbaik-sangka atau berburuk-sangka ya sama-sama persangkaan, sama-sama penghakiman. Kacaunya, kenapa kalau kita dibaik-sangkain sama orang lain kitanya nyaris nggak pernah protes? Kenapa pas orang lain mikir yang baik-baik tentang kita, walau tanpa analisis mendalam pula, kita jarang demonstrasi “don’t judge me blablablablabla” di apdetan status media sosial kita? Standar macam apa yang kita pakai di hidup kita? Standar samping atau standar tengah, hah?!
Jadi karena 3 pertanyaan di atas sudah kujawab dengan gambreng, eh, gamblang, sekarang aku jadi berkesimpulan kalau jangan-jangan kalimat “don’t judge me blablablablabla” itu tadi diperkenalkan sama orang yang egois. Lebih tepatnya lagi adalah orang egois yang nggak mau disalahkan dan selalu minta permakluman ketika berbuat sesuatu.
Aku paham. Lagian mana ada, sih, manusia yang mau disalah-salahkan? Cuma saja, kalau mengeluarkan istilah dan kalimat itu mbok ya yang rada pinter sedikit. Jangan malah membuat pernyataan yang justru bertabrakan dengan kodrat interaksi sosial antar homo sapiens di muka bumi ini. Sesungguhnya kita ini cuma nggak suka dicap jelek aja, kok. Kita sebenarnya bukan menolak dihakimi.
Pada akhirnya, pilihan kalimat “don’t judge me blablablablabla” ini kembali menunjukkan kalau level kita sebagai manusia ternyata masih seperti manusia kebanyakan. Nggak masalah. Mempraktekkan ilmu ikhlas itu memang susah π
Ya ampun ternyata kamu masih ngeblog :’)
wooo…semprul! π
Catatan untuk kesimpulan:
1. Si orang egois bisa jadi menganggap kesalahannya cuma bagai semut di seberang samudera. Kok ya mesti kelihatan juga, sedangkan gajah di pelupuk mata si hakim ndak nampak sama si hakim sendiri.
2. Si orang egois mestinya belajar minta maaf, sekalipun tidak menyelesaikan masalah yang sudah terlanjur jadi. Mungkin kira-kira begitu(?). π
Demikian~~
#permisi
Kalau beberapa temanku mood-nya lagi jelek, kadang aku suka ngeliat apdetan status mereka di s?o?c?i?a?l? ?m?e?d?i?a?-?n?y?a? eh di blognya π
silvyavyaa:::
1. pastinya begitu. namanya saja orang egois, ya pastilah bakal menganggap kalo kesalahannya sendiri adalah hal kecil yang nggak pantas dipermasalahkan, sementara tuan hakim dianggapnya buta dengan kesalahan dirinya sendiri;
2. boleh, meskipun tidak selalu harus begitu, sih. soalnya yang perlu diingat sama si egois adalah dia nggak akan bisa mengontrol perasaannya tuan hakim. kalo setelah minta maaf si tuan hakim mau tetap kesal, si egois bisa apa, wong itu haknya tuan hakim? dalam hal ini permintaan “don’t judge me” malah jadi kontraproduktif seperti kekhawatiran si tuan tampan pada postingan di atas. akan lebih baik jika si egois balik menjudge tuan hakim sebagai orang yang sukar berbesar hati. adil, bebas, dan rahasia.
π
Nyept:::
salah, Yos. yang bener di grup wasap Ilkomp 04++
membaca tulisan yg ini, saya baru nyadar kalo njenengan ini bener2 manusia jenius, salam hormat saya, kang (y)
aduh…aduh…aduh…
wah mas..aku jadi ngefans sama sampyan hahaha
aduh…saya jadi merasa agak2 bagemana gitu…