Walaupun temanku jaman esema yang sekarang sudah jadi dokter beneran, Agustini Leonita, suka nyontek sama saya waktu ulangan dulu, bukan berarti aku ini punya pengetahuan yang mumpuni soal dokter-dokteran. Lagipula, jenis mata pelajaran yang dicontek sama Leo – begitulah panggilan akrabnya – adalah sejarah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris, sementara sebagai barter, akunya nyontek fisika, kimia, dan matematika ke dia.
Maka oleh sebab itu, karena kesadaran diriku itulah sekarang ini aku lebih suka ngikut-ngikut aja soal protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam rangka meminimalisir risiko kesurupan virus Corona. Aku nggak paham soal dunia kesehatan. Pun kalau paham, aku pahamnya ya paham-pahaman khas orang awam. Dalam konteks COVID-19, tidak valid jika aku mengeyeli Leo yang jelas-jelas dokter sungguhan, lulusan Universitas Indonesia pula!
Jadilah aku manut-manut aja kalau disuruh jangan ngumpul rame-rame dulu di tempat umum selama virus Corona ini belum ditemukan penangkalnya.
Dan baru saja, seorang sejawatku yang lain, Mas Moer, sambat. Katanya, di daerah rumahnya tetap bakal ada rame-rame Salat Idul Fitri berjamaah. Yang bersangkutan pun sekarang sedang sibuk melobi ibu-bapaknya supaya besok ini, pas Idul Fitri, nggak usah dululah keliling buat silaturahmi.
Maka hal-hal kayak ginian ini yang membuatku heran bukan kepalang sampai sekarang, ada apa dengan otak orang-orang Endonesa?
Ada yang bilang, mati itu di tangan Gusti Allah, bukan di tangan virus Corona. Jadi nggak usahlah takut untuk tetap datang ke masjid buat salat berjamaah. Kalau mati gara-gara Corona, ya berarti itu takdir. Ditambah dengan euforia COVID-19 ini relatif bersamaan dengan datangnya Bulan Ramadan, anggapan bahwa aturan PSBB adalah langkah konspirasi untuk menggembosi umat Islam pun beredar makin liar.
Berkat ketegasan Pemerintah Endonesa pula, yang mencla-mencle soal aturan bersosialisasi ini (maksudku, pemerintah kita ini sungguh tegas dan konsisten sekali dalam urusan mencla-mencle), pemikiran acakadul ala Endonesa akhirnya juga tumbuh semakin subur. Beberapa mall akhirnya diizinkan buka kembali, pasar boleh dipakai lagi untuk tempat jual-beli, bandara juga boleh kembali beroperasi sementara virusnya sendiri masih rajin mondar-mandir ke sana-kemari. Jelas saja kebijakan ngawur ini akhirnya disambut meriah oleh banyak manusia Endonesa yang pada dasarnya memang hooligan sejati ngawurisme. Pusat-pusat keramaian ini pun kembali diserbu kerumuman massa.
Corona? Ah, lupakan saja!
Sejawat yang lain, yang berjudul Ical, sempat ngambek demi melihat realita sosial macam begini. “Rakyate ndableg, pemerintahe ra dong!” demikian sungut Ical.
Argumen-argumen pembelaan diri zonder mutu pun mulai dipakai sama para penganut ngawurisme ini. “Mall aja boleh buka, bandara boleh ramai. Masak masjid tetap ditutup? Ini tidak adil! Ini represif!” kata orang-orang yang tidak seberapa pintar itu.
“Belanja-belanja boleh, jalan-jalan naik pesawat diizinin, masak salat berjamaah dilarang-larang? Jelas ini kebijakan anti-Islam!” protes mereka-mereka yang aku yakin belum pernah khatam baca buku “Kitab Anti Bodoh”-nya Bo Bennett.
Lha, kepiye, sih, jalan pikirannya, coba? Jelas-jelas kebijakan membuka mall kembali di era pandemi seperti ini adalah salah, jelas-jelas izin jalan-jalan naik pesawat yang mengakibatkan bandara kembali rame itu kontraproduktif dengan protokol kesehatan yang ada, masak ya masjid juga harus ikut-ikutan mengoperasikan kesalahan yang sama? Masak para penggiat salat berjamaah harus menurunkan kadar kepintarannya supaya sama tololnya dengan mereka-mereka yang bercita-cita pergi ke alam barzah selekasnya?
Mikir yang logis dikitlah! Bukan karena ada kebijakan ngawur yang dikeluarkan pemerintah maka kita berhak pula melakukan kengawuran yang sama. 2 wrongs don’t make a right, mate! Bukan karena orang lain bisa seenaknya berlaku goblok maka kita juga harus bersimpati, mendorong, dan mendukung, serta berperilaku sama bahlulnya seperti mereka. Mau iri, kok, irinya sama orang yang salah? Cemburu, kok, cemburu sama orang yang bego? Pantesan aja sampeyan nggak pinter-pinter sampai sekarang…yang dijadikan kiblat malah orang-orang yang kepalanya kopong gara-gara otaknya dipindah ke dengkul, sih.
Virus Corona ini nggak paham huruf hijaiyah, John! Bukan berarti kalau pengunjung mall, pasar, dan bandar udara bisa diserang sama mereka, maka itu berarti jamaah masjid nggak bakal diserang berhubung sudah khatam buku “Iqro” jilid 6. Keramaian, di mana pun, mbuh di bandara atau masjid, semuanya punya derajat kerentanan yang sama. Makanya tho…mbok pada banyak belajar dan berolah-pikir yang benar.
Bukan karena orang lain juga salah, maka kita harus pula diizinkan untuk bertindak sama salahnya. Jangan seperti itu. Jangan pula seperti Jerinx-nya Superman is Dead; Bukan karena Bill Gates yang katanya nggak paham ilmu kesehatan bisa ngomong sesukanya soal virus Corona, maka kita yang juga sama nggak pahamnya boleh pula melakukan hal yang setara.
Tahu diri sedikitlah, duh, orang Endonesa. Sana, baca bukunya Bo Bennett!
So, what do you think?