Seandainya saja tokoh utamanya bukan Pendekar Tanpa Nama, buku ini bakal ta’kasih bintang 4. Cuma saja gara-gara tokohnya punya kesaktian tak terkalahkan, turun 1 bintang rasanya cukup adil. Yeah, dari dulu aku agak gimana gitu sama cerita yang lakon utamanya nggak terkalahkan, dalam hal ini termasuk juga Chu Liuxiang, si Pendekar Harum, yang ginkangnya nggak punya lawan di seluruh kangouw, sehingga bisa selalu berkelebat lebih cepat dari lawan-lawannya.
Celakanya, selain hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu, Pendekar Tanpa Nama jauh lebih luar biasa. dia punya jurus Bayangan Cermin yang bisa meniru semua jurus musuh-musuhnya, persis Kapten Tsubasa tetapi dalam skala yang jauh lebih tangguh. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri. Lainnya, dia juga punya jurus Semut Berbisik di Dalam Liang, bisa mendengar obrolan, bisikan, juga desahan dari jarak jauh (kebayang betapa sutrisnya kalau aku bisa mendengar yang terakhir dengan pelakunya adalah mantan pacarku dan suaminya), lalu ilmu peringan tubuh yang melebihi kecepatan cahaya, bisa berenang dengan kecepatan 1.000 lumba-lumba, di dalam tubuhnya mengendap mantra aliran hitam dan ilmu racun paling ganas di seluruh dunia, punya ilmu cicak, jadi bisa nempel-nempel di dinding diam-diam merayap, sejenis dengan Peter Parker-lah, lalu ilmu bunglon yang membuat dirinya bisa berkamuflase dengan penampakan di sekitarnya (jelas jauh lebih efektif ketimbang seragam kamuflasenya Pemuda Pancasila yang item-oranye itu), kemudian beliau juga bisa bersembunyi di balik bayangan, serta tentu saja jurus sebagaimana yang menjadi subjudul novel ini: Jurus Tanpa Bentuk, sebuah jurus yang bukanlah sebuah jurus. Tidak akan pernah bisa dipecahkan lawan-lawannya? Oh, jelas!
Pendeknya, dengan premis seperti di atas, Nan Kung Wen Tian, Saitama, atau bahkan Gogeta dan Vegito pun, nggak akan mampu berkutik kalau harus senggel dengan Pendekar Tanpa Nama. Tidak ada dari mereka yang punya ginkang yang melebihi kecepatan cahaya! 2 tokoh terakhir pun masih butuh perangkat pembantu untuk kembali ke masa lalu atau bertualang ke masa depan, yang mana, konon katanya, melebihi kecepatan cahaya adalah syarat mutlak untuk bisa mengakali kekangan waktu dan ruang.
View this post on Instagram
Hanya saja, novel ini dikarang oleh Seno Gumira Ajidarma. Pemilihan kosakatanya pastilah avant-garde. Kedalaman risetnya selama ini dikenal nggak main-main, termasuk juga di novel “Nagabumi” ini, di mana catatan tambahannya saja berjumlah 460 item lebih. Kalau ditotal-total, sih, jadi sekitar 44 halaman sendiri. Sebuah jumlah yang lebih banyak ketimbang halaman ebook-ebook gratisan bahan promosi yang beredar di Internet. Apalagi mengingat pula ukuran huruf yang dipakai sebagai catatan tambahan ini pun kecil-kecil.
Yang berikutnya, yang membuat novel ini jadi menarik adalah pergumulan batin si tokohnya sendiri. Menjadi tanpa tanding itu rasanya kesepian. Konflik agama Syiwa dan Buddha pada zaman Mataram kuno juga membuat buku ini berisi quote-quote dari kitab-kitab yang beredar pada masa itu. Enak dibaca buat menambah perbendaharaan bahasan ketika kita sedang melakukan pedekate ke lawan jenis. Bisa membuat kita nampak smart-lah soal sejarah klasik nusantara, wa bil khusus soal Mataram itu tadi dan Sriwijaya. Sebagai keturunan Jawa, okelah kupakai sebagai bahan nggombalin cewek Palembang.
Semprulnya, catatan-catatan tambahan ini ditaruh di bagian belakang novel, bukan sebagai catatan kaki yang bisa langsung dibaca di halaman isinya. Agak ngerepoti, je, Pak Seno 🙁
Maka akhirul kalam, balik lagi, dari situ, dari pergumulan batinnya Pendekar Tanpa Nama inilah yang membuat alur cerita “Nagabumi” enak diikuti, meskipun anggap angin lalu aja ketika ceritanya masuk ke adegan berantem-beranteman. Pendekar Tanpa Nama sudah pasti menang. Nggak seru!
So, what do you think?