Mapan Turu, Nyaman Mlungker

Suatu malam di 7 Eleven dekat UIN Syarif Hidayatullah, aku pernah bilang ke si Bram, “Kalau ditanya aku pengen hidup yang seperti apa, sederhana. Aku cuma pengen balik macam dulu lagi, waktu masih di Jokja, waktu masih bisa cekakak’an atau main PES sampai pagi, tanpa harus mikir besok masih harus masuk kantor jam setengah 8 pagi. Duit yang masuk rekening memang seadanya, mungkin cuma setengah lebih dikit dari yang sekarang, tapi bebas dari kekhawatiran rutin menjelang pagi.”

Iya, sekarang ini aku jadi detektif di Jakarta. Bukan tanpa alasan aku ada di sini. Kadang dalam hidup kita memang ada hal-hal yang harus kita kompromikan dengan keinginan mereka yang (ngakunya dan seharusnya) kita sayangi dan hormati. Sedikit mengalah, meski agak tak nyaman, kadang memang nyaris tidak mampu ditolak untuk dilakukan (nantilah kapan-kapan kuceritakan kronologisnya). Maka begitulah, di Jakarta-lah beta.

Tapi ya itu tadi, kalau ditanya apa aku puas dengan kehidupanku yang sekarang, jelas jawabannya adalah nggak. Aku lebih suka yang dulu karena memang yang kukejar bukan materi, seperti yang mungkin mereka-mereka kejar di Jakarta, seperti alasan mereka yang lainnya pula yang berhasil memaksaku untuk berdomisili di bekas Sunda Kalapa. Yang kukejar – dan kemudian sudah pernah kudapatkan – adalah kenyamanan. Soal materi? Ah, nominal materi itu bisa dikompromikan, apalagi kita juga mengenal istilah “barang substitusi”, kok. Materi itu – buatku pribadi, sih, ya – bisa tergantikan oleh kenikmatan lainnya.

Maka tulisan kali ini adalah tentang zona nyaman.

Tadi pagi seorang kawan di grup Whatsapp nge-share gambar berisikan tulisan “JIKA INGIN SUKSES KELUARLAH DARI ZONA NYAMAN MU”, yang memang tulisannya sungguh-sungguh memakai huruf kapital semua dan antara kata “NYAMAN” dan “MU” terketik terpisah.

Tentu saja reaksiku bisa ditebak. Sebagai manusia pemuja kenyamanan jelas aja aku bereaksi sedikit kontra. Lha, kalau memang sudah nyaman kenapa pula mesti ditinggal-tinggal? Apa tho yang kamu nyari di hidup ini, anak muda? Tantangan? Nah, kalo memang itu, mari kita bicara tentang zona nyaman dan tantangan.

Pertama-tama mari kita definisikan dulu apa itu “nyaman”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nyaman itu berarti segar, sehat, sejuk, atau sedap, serta enak. Jadi ya makhluk-makhluk Tuhan yang meninggalkan kenyamanannya itu bisa saja secara bodon ta’bilang sebagai para tukang cari penyakit. Betapa tidak, wong sudah dikasih kesehatan dan kesegaran, lho, lho, lho…kok, malah ditinggal minggat tho? Dasar kalian para kaum kufur ni’mat! 😈

Kedua-dua, suatu waktu pula di apartemen warisan babahku di bilangan Kemayoran, aku pernah ngobrol sama Josephine. Waktu itu bahasan kami ya tentang perkara zona nyaman juga. Pendek kata, Josephine tiada setuju dengan kata-kata yang memerintahkan beliau yang terhormat itu untuk keluar dari zona nyamannya. “Padahal tho, yang namanya nyaman buat tiap orang itu lak parameternya beda-beda,” demikian sungut Josephine.

Josephine melanjutkan kemudian. Menurutnya, orang mungkin memang ada yang senang berlama-lama di 1 tempat, sementara yang lainnya ada yang senang meloncat-loncat. Tapi kalau kemudian yang berlama-lama dapat stigma negatif karena dinilai terjebak di zona nyaman sementara yang hobi loncat dapat imej positif, itu tidak adil.

Kenapa tidak adil?

Karena begini… Mari kita berkaca pada karakter Sherlock Holmes dari serial “Sherlock”-nya BBC.

Sherlock itu hobinya memecahkan kasus-kasus rumit. Dia bukan manusia yang bisa diam. Kalau diam dia justru gelisah, kalau nggak ada kasus nan njelimet dia justru panik. Maka sekarang coba jawab, apa yang bisa membuat seorang Sherlock merasa nyaman? Nah, kalian semua pintar jika menjawab bahwa hal yang paling bisa membuat Sherlock merasa nyaman adalah menggerakkan otaknya kemudian berpetualang menembus ramainya London.

Piye? Dapat clue-nya, nggak? πŸ˜‰

Maka jelas, kan, ya…ketika kita menyuruh Sherlock untuk keluar dari zona nyamannya, itu berarti kita menyuruh Sherlock untuk nglaras di kasurnya dengan tenang sambil nonton serial “Game of Thrones” bajakan seharian. Ketika sampeyan menyuruh daku meninggalkan zona nyamanku, itu berarti antum sedang menyuruh beta untuk bangun dari kasur, masuk kerja kantoran tiap hari secara rutin, berjibaku dengan kuwampretnya lalu-lintas Jakarta.

Jadi ya begitu juga dengan istilah zona nyaman yang beredar jamak di masyarakat kita. Sungguh tak adil ketika hidup tenang dan damai di Jokja dicap sebagai terjebak di zona nyaman, sementara mereka yang bertarung di ibukota disebut sebagai suri-tauladan. Lho, John, siapa tau juga mereka yang berkutat di jalanan ibukota itu memang nyaman dengan hal demikian, kan? Siapa tau meloncat-loncat dari zona (yang selama ini diklaim) nyaman adalah kenyamanan tersendiri buat mereka, seperti halnya tetap berada di zona (yang selama ini diklaim) nyaman adalah ketidak-nyamanan tersendiri buat mereka pula.

Oleh karena sebab-musabab hal yang demikianlah adanya itu, duhai kisanak, jangan semena-mena menilai mlungker tidur-tiduran sambil baca komik silat adalah sebuah kenyamanan, karena – ya itu tadi – tidur-tiduran sambil baca komik silat bisa pula berarti ketidak-nyamanan bagi beberapa manusia lainnya.

Akhirul kalam, aku menutup sidang Kamis kali ini tetap dengan sebuah keheranan. Apa, sih, sebenarnya yang kita cari dalam hidup kita ini? Bukankah kita semuanya menginginkan kemapanan dan kenyamanan hidup? Jika memang betul iya, lantas dari mana, sih, keluarnya istilah “anti-kemapanan” ataupun “keluar dari zona nyaman” itu tadi? Dari orang-orang yang berpikir sempit yang hobi memaksakan keseragaman dan cuma memandang persoalan hidup ini berdasarkan sudut pandangnya sendirikah gerangan? :mrgreen:


Facebook comments:

12 Comments

  • wijaya |

    Sungguh mencerahkan. Dengan ini mari kita sama2 nyatakan ungkapan “zona nyaman” sebagai bullshit. Paling pol, zona stagnan. Atau, zona malas.

  • mawi wijna |

    Balik ke Jokja atau ke Balih lagi aja mas Joe, jadi buruh tani, pendapatan tak seberapa, tapi dedikasinya ke masyarakat umum (yg tiap hari masih makan nasi) luar biasa

  • Yang Punya Diary |

    wijaya:::
    nah, itu saya setuju. stagnan itu sifatnya evidence, sementara nyaman lebih subyektif. stagnan bisa berarti nyaman buat seseorang, bisa pula tidak nyaman buat yang lainnya lagi.

    mawi_wijna:::
    waaaaa…kalo itu saya malah lebih ndak nyaman lagi. saya ini kurang suka aktifitas otot, je, kecuali balbalan dan yangyangan. jadi detektif saat ini memang adalah zona belum nyaman bagi saya, tapi jadi petani, buat saya itu bakal jadi zona lebih tidak nyaman lagi.

  • anonim |

    Saya setuju banget.
    Ga betah tinggal di jakarta,pingin balik ke jogja. Tapi gimana..

  • tyan keren |

    Sheldon cooper: why should i get out from my comfort zone? It’s called a ‘comfort zone’ for a reason.

  • Yang Punya Diary |

    “tapi gimana” ya? make it two. saya juga sama. tapi ya itu, macam yang saya tulis, kadang kita memang harus memilih untuk bertahan demi diri sendiri atau mengalah berkompromi untuk seseorang atau sesuatu yang kita sayangi – walau mungkin kita menjalaninya ya agak setengah hati

  • Takodok! |

    Ya itu mas, compromised comfort zone. Kalau ternyata nyaman saya mengganggu nyaman orang-paling yang paling disayangi ya mau gimana lagi selain kompromi. Mau keras kepala macam anak umur 3 tahun ya kok ga pantes *curcol*

  • yudi |

    zona nyaman saya di jalan gadung meli bakso rien tanpa harus memikirkan ini itu karena semuanya udah dibereskan oleh sucitra. sekarang jadi ga nyaman karena apa2 harus dipikirkan sendiri, sialan.

  • dhee |

    Haaaa…sepertinya curcol para pekerja terpaksa demi orang-orang yang disayangi.
    Bapakku pernah bilang, kerja itu biar nyaman harus dicintai dan dinikmati.
    Lha masalahnya, gimana mau mencintai dan menikmati kalo dari awal sudah merasa tidak nyaman?
    Gak tau juga kapan punya keberanian untuk berenti bekerja yang seakan-akan kontrak seumur hidup. Gak punya keberanian menentang orang-orang tersayang demi kenyamanan diri sendiri. Kok ya terkesan mengorbankan diri?

  • Yang Punya Diary |

    tyan keren:::
    si sheldon itu sebenarnya pernah saya ceramahi panjang kali lebar tentang hal ini, ty. maklumlah, makin banyak aja orang2 yang konsultasi sama saya. apa saya resmi buka birojasa konsultan masalah hidup aja apa ya?

    Takodok!:::
    begitulah…pada intinya, sih, kita ndak pernah keluar dari zona nyaman, sebenarnya. yang kita lakukan selalu berkompromi dengan keadaan supaya kita merasa lebih nyaman dari waktu ke waktu aja. termasuk kalo mau nekad keras kepala, pasti ada bagian diri kita yang merasa ndak nyaman juga, des :mrgreen:

    yudi:::
    find another sucitra, biar kamu tetap nyaman, kul. seperti saya yang selalu mencoba menemukan leo atau belly yang lain. apa boleh buat, batman selalu butuh robin, soalnya, entah itu dick grayson ataupun tim drake πŸ˜†

    dhee:::
    sebenarnya bukan curcol pekerja terpaksa. ini curcol tentang istilah salah kaprah yang terlanjur diimani sebagai kebenaran oleh jamaknya masyarakat πŸ˜›

  • t*t*t ganteng |

    Biarlah salah kaprah, anggap saja itu pembenaran bagi mereka untuk dapat merasa nyaman dalam keadaan yang menurut mereka tidak nyaman, sama seperti yang anda sedang lakukan dengan menulis itu, menurut saya yang salah malah melakukan sesuatu karena terpaksa, selain menyakiti diri sendiri itu juga seperti diperkosa tapi pasrah, emang enak? Biar enak dinikmati atau lawan, mau pilih yang mana itu terserah anda

  • Yang Punya Diary |

    lho, mana ada diperkosa tapi pasrah?

    menurut kbbi, arti dari pasrah adalah menyerahkan sepenuhnya. lha nek sudah menyerahkan sepenuhnya kok ngakunya diperkosa? paradokslah itu, sama halnya dengan istilah keluar dari zona nyaman yang saya tulis ini, deh πŸ˜€

    tapi ndak papa, biar sahaja salah kaprah. pembiaran itu kadang kala memang mekanisme pertahanan diri kita dalam mempertahankan istilah yang sudah kadung status quo pada diri kita.

So, what do you think?