Mas, Punya Makanan, Nggak?

Prapatan MM UGM, hampir mitnait, pulang dari nonton “The Fighter” di XXI terus nganterin Parti ke kosnya. Motorku motor pertama yang berhenti di situ gara-gara lampu merah. Kemudian seorang penggemar yang kira-kira seumur sama Dzaky, adikku yang masih kelas 4 esde, menghampiriku. Tangan kanannya memegang lap, dan kupikir dia mau ngelap motorku. Ternyata tidak. Dia cuma berdiri di depan motorku sambil memandangku. Tampangnya kucel banget. Jelas saja. Mungkin dia capek berdiri sesiangan di prapatan itu dan masih harus berdiri juga di malam yang membuatku – walopun sudah make jaket lumayan tebal – kedinginan.

Baiklah. Kurogoh saku belakang Levi’s Strauss-ku. Kukeluarkan Converse bulukku (buluk, sih, cuma luarnya… Tapi isinya, donk :mrgreen: ), mengangsurkan selembar seribuan ke tangannya, dan kemudian dia berkata dengan suara serak yang setipe sama suaranya Gilang, adikku 1 lagi yang baru kelas 6, “Mas, punya makanan, nggak?”

“Eh, nggak ada e,” jawabku jujur. Asli, kali ini aku nggak lagi ngibul. Ada juga rokok di saku jaketku. Tapi masak iya anak seumur itu kutawarin rokok?

“Bisa belikan makanan yang di situ?” tanyanya sambil menunjuk arah MM UGM. Di depannya ada bakul martabak dan, setauku, kayaknya warung penyetan di sebelahnya juga masih buka.

Kupandangi anak itu. Meskipun ada himbauan supaya jangan memberi duit pada peminta-minta di perempatan, aku kasihan juga ngeliat tampangnya. Kayaknya dia memang kelaparan. Sekalian aja, jangan tanggung-tanggung, toh tadi aku juga sudah khilaf ngasih duit ke dia. “Ayo,” kataku sambil memberi isyarat dengan kepalaku supaya dia duduk di jok belakang motorku.

“Anu… Mas aja yang beliin, nanti muter ke sini lagi.”

“Waaa… Kalo mau ya ayo. Kalo nggak, ya aku juga males kalo harus muter lagi,” jawabku nantang. Kupikir di sekitar situ memang ada “senior”nya yang mengawasinya. Ide jahil memang sempat terlintas sesaat. Anak ini pengen kuculik sebentar, terus sambil makan dia bakal kutanya-tanyain tentang kehidupan anak jalanan yang suka bikin aku penasaran. Kadang-kadang aku memang suka ngasal. Jadi tolong dimaklumi ya, terutama kalo penyakit ngasalku lagi kumat.

Dia berpikir sesaat, lalu menjawab, “Kalo gitu saya aja yang nanti beli sendiri. Bisa tambahin uangnya nggak, Mas?” Ah, ternyata dia nggak berani…

Aku nggak berkata apa-apa lagi. Cuma diam sambil menyerahkan selembar seribuan lagi ke tangannya. Anak itu lantas berlalu.

Sayang sekali, Dik. Seandainya saja kamu mau ngikut, kamu nggak cuma kutraktir martabak atau penyetan. Kamu bakal kuajak makan di rumah makan Padang yang buka 24 jam di sekitaran Jakal. Rasa-rasanya nilainya bakal lebih besar ketimbang 2 ribu perak.

Yah, kadang memang yang namanya rejeki itu sudah begitu dekat di depan mata kita tapi kitanya aja yang nggak menyadari kesempatan itu πŸ™‚

Dan gara-gara kamu, Dik, aku jadi kangen sama adik-adikku di Denpasar.


Facebook comments:

9 Comments

So, what do you think?