Haji Wiwid bilang, aku ini tiada bosannya bergaul (bergumul, kalo istilahnya dia) dengan gadis yang aneh-aneh. Ya mungkin beliau memang bener bahwasanya aku ini seperti itu. Beberapa dari temen-temenku yang cewek, kalo diliat dari kacamata remaja masjid, memang agak sodrun, sih, seperti yang baru terjadi kemarinan ini.
Kemarin aku entah kenapa terjebak obrolan sama Vina (sebut saja demikian. Perkara mau dianggap nama asli atau nama palsu, kali ini sahaya putuskan penilaiannya kepada sidang pembaca yang terhormat sahaja).
Eh, tapi sebelum cerita tentang Vina, aku mau cerita dulu tentang pengalamanku pas aku dapat misi buat ngusut kasus di Jokja sana.
Seperti yang sudah sidang pembaca ketahui sebelumnya, sejak Diwan Sastro yang bekas adik kelasku jaman kuliah dulu itu ikutan direkrut sama kantorku sebagai agen rahasia, reputasi sebagai cassava casanova yang dulu kunikmati pas masih mahasiswa malah jadi terbongkar. Diwan cerita-cerita ke orang kantor tentang kebiasaanku nggonta-ngganti cewek buat pemberat jok belakang sepeda motorku. Alhasil aku jadi ketambahan kerjaan. Setiap ada kasus yang pemecahannya menuntut lobi-lobi sama gadis, aku pasti selalu kebagian.
“Ini kejadiannya di Jokja, Dit. Kamu, kan, paham medan di sana. Jadi kamu aja yang berangkat ya!” perintah Pak Komandan waktu itu.
“Lho, jadi saya berangkat ke mana, Pak, ini? Ke Jokja atau ke Medan?” tanyaku.
“Sudah! Jangan pura-pura blo’on. Kamu mau ta’suruh nemenin aku lembur?” sembur Pak Komandan yang langsung kusambut dengan kabur buat nyiapin administrasi tugasku. Nemenin beliau lembur? Ih, nehi!
Singkat kata singkat cerita, tugasku di Jokja hari itu selesai. Masih ada sisa semalam plus sehari sebelum aku harus kembali melapor ke markas di Jakarta, maka kuputuskan saja nongkrong sekalian ketemu sama teman-temanku jaman kuliah di Gadjah Mada dulu. Aku nongkrong sampai jam 11-an dan kemudian balik ke hotel tempatku nginep, hotel di pojokan Jalan Malioboro.
Masuk ke lobi hotel kulihat masih ada beberapa tamu yang nangkring di situ. Waktu mau jalan ke lift sempat pula aku lirak-lirik situasi dan jebulnya ada cewek berparas menarik (tapi bukan menarik gerobak), berjilbab, dan bergamis yang sedang duduk sama seekor kera jantan. Wah, gadis manis, batinku. Tur, kok, yo ono munyuke kie lho, batinku lagi. Kecewalah aku lalu kemudian memutuskan buat naik saja ke kamarku.
Aku lagi cuci muka dan gosok gigi di kamar mandi waktu bel berbunyi, yang menandakan ada yang punya perlu buat ketemu sama aku. Aku memang rajin menggosok gigi, makanya gigiku putih cemerlang. Tapi concern-ku sekarang bukan tentang gigiku. Aku lebih memilih bertanya-tanya, siapa makhluk yang malam-malam nekad mengganggu waktu istirahatku ini?
Kubuka pintu, dan…
Lho, ini lak kera jantan yang tadi di bawah!
Mau apa dia? Mau cari perkara gara-gara aku tadi sempat lirak-lirik ke betinanya ya? Oke, ayo aja. Aku nggak takut meskipun mungkin kera ini adalah jenis kera yang punya 72 Ilmu Sihir Perubahan Wujud.
“Pak Satrianto ya?” tanyanya.
Blaik! Aku kaget. Jebul ini makhluk bisa ngomong juga. Berarti betul, ini kera bukan sembarang kera. Ini pasti kera sakit, eh, kera sakti.
“Iya, saya,” jawabku. “Ada apa ya?”
“Ini, Pak,” katanya sambil menoleh ke cewek yang di bawah tadi yang sebelumnya nggak kelihatan gara-gara terhalang tembok. “Ini kirimannya,” lanjutnya.
Jagad dewa bathara! Weee…lha, kok, elok? Tau aja si pengirim ini soal seleraku. Maka setelah tolah-toleh kanan-kiri aku mengkode si mbak dengan kepalaku, menyuruhnya masuk.
“Saya pamit dulu ya, Pak,” kata si Mas Go Kong kemudian setelah mbaknya masuk.
Di dalam kamar, aku nanya ke si mbak, “Mau minum apa?”
Dia menggeleng, “Nggak usah, Mas.” Adudududuuuh…suaranya halus nian :*
Ya sudah, aku bikin teh sendiri buatku. Nyeruput sekali, sekalian buat menenangkan debaran jantungku. “Siapa yang ngirim?” tanyaku.
Dia cuma senyum. Selebihnya diam.
Oh, oke. Jadi gini tho permainannya. “Oke, berapa biasanya?” tanyaku lagi.
“600, Mas. 2 kali.”
Asu! Hilanglah sudah perjakaku di malam laknat itu, pikirku. Untung saja kemudian aku keinget sama Pak Tareqat, guru ngajiku dari jaman esde sampai awal esema dulu. “Jadi gini, Mbak…sekarang saya lagi nggak bawa cash segitu. Mbak pulang aja ya! Kalau buat taksi saya masih ada,” kataku. Sumpah mati cuma model ngeles seperti itu yang sempat kuingat. Namanya aja barang kiriman, habis ngomong gitu aku khawatir juga kalau si mbak sampai bilang kalau ongkosnya sudah ada yang nanggung.
“Beneran, Mas?” nadanya nggak percaya.
“Iya.”
“Ini yang terakhir buat saya, Mas. Besok-besok udah enggak lagi. Bulan depan saya mau nikah.”
“Nggak, Mbak. Selamat ya. Tapi ini saya bener-bener nggak bisa juga.”
Si mbak berdiri. Kuantarkan dia sampai pintu. Waktu mau kukasih ongkos taksi, dia menolak. “Nggak usah, Mas. Terima kasih. Saya tinggal bilang, entar dijemput, kok,” katanya.
Dia pulang. Kututup pintu kamar. 10-an menit kemudian barulah aku menepuk jidatku sendiri. Bajindal! Lha, si mbak itu tadi namanya siapa ya? Kok, ya aku nggak minta nomer hapenya? Wah, semprul!
Nah, sekarang mari kita kembali ke Vina.
Vina ini sama kayak si Mbak tadi. Dia juga jilbaber. Bedanya Vina lebih modis, nggak pakai gamis, dan jilbabnya model yang gaul. Sayangnya Vina juga suka banget digauli. Buatnya, jilbab itu urusan kewajiban, sementara diewe urusan selangkangan. Tambahannya lagi, dia penganut aktifitas seks yang lumayan ekstrim. Atas nama sensasi, dia suka njajal yang aneh-aneh, meskipun nggak seaneh ngeseks sambil ikutan lomba balap karung. Susah, soalnya.
Perkara jilbaban tapi bisa digagahi sejak sebelum nikah, sih, aku nggak heran lagi. Sejak awal-awal kuliah aku sudah tahu kalau fenomena kayak gini ini memang eksis, terutama sejak aku mbaca bukunya Muhidin M. Dahlan yang “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!”. Jadi kalau buat Haji Wiwid temanku yang aneh-aneh itu adalah situasi yang menakjubkan, buatku ya biasa aja. Mau apa, wong memang begitu, kok, kenyataannya?
Lalu bagaimanakah esktrimnya Mbak Vina ini? Seaslinya, mau dibilang ekstrim, sih, ya nggak ekstrim juga. Kalau sekadar sensasi making love, eh, making syahwat zonder ngelepas jilbabnya, itu, sih, perkara yang jaman sekarang sudah biasa. Nggak ekstrim lagilah. Lha, kalau ndak percaya, itu di Mangata House juga banyak lonte-lonte yang punya pangsa pasar khusus lanangan yang fetish sama cewek berjilbab. Jadi ya nggak ekstrim lagi, sih, sebenarnya.
Cuma, itu pandanganku sendiri. Nilai moral yang dulu memaksaku menganggap hal demikian itu tabu atau malah bejat lama-kelamaan ya tergerus juga saking seringnya aku nemu fakta model demikian. Saking seringnya, moralku jadi imun. Hal kayak gitu jadi kuanggap wajar. Wajar karena toh memang banyak yang seperti itu, meskipun aku juga masih tahu bahwa wajar dan benar itu adalah 2 entitas yang berbeda. Mungkin beda pandangannya, beda kasusnya, sama lingkungannya Haji Wiwid yang beberapa tempo lalu mbangun masjid di halaman rumahnya sendiri yang kemudian diwakafkannya.
Jadi waktu Vina cerita ke aku tentang aktifitas seksuilnya, aku cuma bilang ke dia (tentu aslinya dalam bahasa yang lebih vulgar dan murahan), “Apa anehnya, Vin? Nggak ada istimewanya. Kamu bukan yang satu-satunya. Yang kayak kamu ratusan atau malah ribuan jumlahnya, malah nggak cuma nggak lepas jilbab. Gamisnya masih dipake segala, bahkan. Lha sekarang kamu berani nggak ngelakuin perkara ngeseks yang lebih ekstrim ketimbang gaya ngeseksmu selama ini?”
“Apa?” tanyanya.
“Pernah nyoba main di masjid?” tanyaku memberi permisalan.
Vina kaget. Matanya mendelik. “Omonganmu nggak diayak,” katanya ke aku.
“Nggak diayak bagaimana?”
“Kamu Muslim, kan?” tanyanya.
“Saban Jumat masih ke masjid, kok,” jawabku.
“Kamu nggak takut dosa?”
“Dosa? Kalau parametermu Muslim atau bukan Muslim, yang kamu lakukan itu itungannya dosa juga nggak?”
Vina diam.
“Lagi nikmatin zina, kok, repot-repot mikir dosa?” lanjutku.
“Kamu nggak takut masuk neraka?”
“Buat apa takut kalo cuma masjid yang jadi alasannya? Memangnya kalo cuma zina, asal tempatnya nggak di masjid, nggak bakal masuk neraka?” tanyaku sambil nyengir intimidatif.
Vina diam. Blas nggak wangsulan dianya. Tapi mungkin memang aku, sih, yang sore itu salah memilih lawan debat jaran (kusirnya lagi berhalangan hadir, soalnya). Wajarlah kalau akhirnya endingnya cuma segitu. Nggak seru.
Lha? Trus? Jadi di masjid, ndak e?
wah, ya ndak tau, Pras. mungkin ga jadi berhubung beliaunya penakut. tapi mungkin malah nekad setelah saya berikan pencerahan 😈
Jadi, masih perjaka?
ooo…kentu tidak.
eh,
ooo…tentu tidak.
percayalah pada tante rosa.
Tante rosa? Tangan ro sabun?