Sepatunya Ganggas dan Rok Mini

Ini adalah sebuah kisah nyata. Kejadiannya hari Senin minggu kemarin. Cuma kenapa baru ta’ceritain sekarang, apalagi alasannya kalo bukan akunya lagi sibuk? Alasan klasik, ya? Yeah, memang. Tapi ya apa boleh buat, memang begitulah keadaannya. Nulis itu toh tergantung mood. Kalo akunya lagi nggak mood nulis, manalah bisa akunya dipaksa? Iya, kan? Iya, kan? Iya aja, deh.

Jadi latar belakang permasalahannya adalah sebagai berikut:

Ganggas itu adik sepupuku. Sejak kecil dia punya cita-cita buat jadi presiden. Terdengar heroik? Memang. Tapi terdengar ngasal menurutku juga tidak. Dia tidak asal menggunakan kata “presiden” sebagai jawaban ngawur kalo ditanya, apa cita-citanya?

Sejak masuk esema dia selalu bilang kalo dia pengen jadi presiden. Dan sejauh ini dia konsisten. Demi dapat pelajaran Tata Negara dia nekad ngambil jurusan IPS meskipun sodara-sodaranya ngoceh supaya dia masuk IPA. Selepas esema dia ndaftar di Undip jurusan Ilmu Pemerintahan. Alhamdulillah keterima di saat-saat terakhir yang membuatnya batal jadi mahasiswa UAJY meskipun sudah sempat ikut briefing ospek.

Hobinya Ganggas nonton film. Tapi tema film yang ditontonnya nggak jauh-jauh dari seputaran intrik-intrik politik. Maka selama dia konsisten dengan apa yang dimauinya, aku tentu saja bakal terus ngasih support mati-matian ke dia. Lumayanlah… Dengan dia jadi presiden, itu artinya aku bisa mengatur negara ini dari belakang layar, persis macam Mycroft Holmes.

Weekend minggu kemarin Ganggas ke Jokja dan nginep di rumahku. Oh ya, sebelumnya perlu ta’umumkan dulu kalo Ganggas ini punya style fashion yang berbeda 176 derajat sama aku. Dia sukanya tampil dengan gaya dandanan tua. Polo shirt-nya polos tanpa corak macam-macam. Sepatunya sepatu kulit khas bapak-bapak. Sungguh beda sama aku yang masih suka pake kaos gambar Doraemon dan Dragon Ball sambil nginjek sepatu kets atau sneakers ke mana-mana.

Agendanya Ganggas di Jokja apalagi kalo bukan nyari film. Saking seleranya dia adalah film-film yang nggak umum ditonton anak muda, menurut pengakuannya, di Semarang tidak tersedia rental film yang bisa memuaskan hasratnya. Donlot di Internet tentu saja bisa. Tapi dia malas. Lebih baik ke Jokja sekalian kalo pengen nyari film aneh-aneh. Sapa tau sekalian bisa disanguni uang jajan sama aku, begitu pengakuannya.

Tapi kemarin ini Ganggas ketiban sial. Dasarnya anak itu memang suka agak teledor, sepatu kulit kebanggaannya lupa nggak dimasukin ke dalam rumah pas malam hari. Semalaman dibiarkan tergeletak di teras tanpa pengawalan dari Paspampres bidang kerja urusan sepatu.

Dan besoknya…benar saja! Diadora Francesco Totti warna merah kebanggaanku aja lenyap di situ, ya apalagi sepatunya Ganggas yang konon dari kulit kadal (bukan kulit buaya, -red.) itu. Doi raib dari tempatnya. Siapa yang salah? Ya malingnya!

Tentu saja malingnya yang salah. Dia sudah dengan kurang-ajarnya mengambil sesuatu yang bukan haknya. Tapi apakah Ganggas di sini nggak punya andil kesalahan? Dia, kan, sudah teledor naruh sepatunya di teras rumah, masak nggak ikutan punya salah, sih?

Ya enggak! Mana bisa Ganggas disalah-salahin. Mau naruh sepatunya di dalam kandang badak sekalipun itu nggak salah. Itu haknya Ganggas, wong dia yang punya sepatu. Terserah yang punya sepatu, donk. Dalam hal ini yang salah cuma malingnya.

Tapi sebentar…

Sepertinya ada yang janggal.

Apa iya Ganggas nggak salah?

Aku, kok, kayaknya nggak sreg ya kalo Ganggas nggak disalah-salahin juga. Waktu Diadora-ku ilang dulu itu, adikku, si Gothiet, dengan teganya langsung bilang, “Salahnya sendiri. Sepatu bagus, kok, dipajang di teras rumah? Sukurin ilang.”

Nah, kalo sekarang Ganggas nggak boleh disalah-salahin, kok ya hidup ini rasanya nggak adil sekali, ya? Cuma karena yang kehilangan sepatu adalah seorang calon presiden, itu berarti yang salah adalah malingnya. Sementara kalo yang kehilangan sepatu itu hanyalah rakyat biasa (meskipun berwajah ganteng) sepertiku, kesalahan langsung ditimpakan pada aksi keteledoranku.

Tidak adil!

Karena ini tidak adil maka marilah kita sepakat untuk membuatnya jadi adil. Ganggas tetap punya andil kesalahan di sini meskipun saham kesalahan mayoritas tetap dimiliki oleh si maling. Setuju? Setuju saja, deh!

Deal! Ganggas punya andil kesalahan di sini. Dia teledor.

Kelanjutannya, nasib sial yang dialami sama Ganggas ini kok malah membuatku teringat soal Fauzi Bowo dan rok mini itu ya. Konon waktu terjadi kasus pemerkosaan di angkot, Fauzi Bowo yang akrab disebut Foke ini malah bilang, “Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan agak gerah juga”. Pernyataan itu tentunya dinilai menyudutkan korban. Ditambah dia juga bilang, “Sama kayak orang naik motor, pakai celana pendek ketat lagi, itu yang di belakangnya bisa goyang-goyang,” kontan otomatis banyak pihak yang jadi meradang.

(Kampret juga ini si Foke. Korbannya udah diperkosa, eh…malah disalah-salahin pula. Setali tiga uanglah dengan adikku. Akunya udah kehilangan Diadora, ealah…malah dibilang kalo itu gara-gara kelakuanku sendiri yang teledor juga)

Yang meradang selanjutnya pada protes. Mereka pada bikin demo buat Oom Foke. Mbak Dhyta Caturani, misalnya, dia bilang, “Padahal, yang pakai jilbab juga banyak yang menjadi korban perkosaan. Jadi, perkosaan itu bukan faktor pakaian korban.” Kesimpulannya, pernyataan Oom Foke yang bilang kalo rok mini itulah sumber pemerkosaan, itu salah besar.

“Bukan Rok Kami yang Salah, Tapi Otak Kalian yang Mini”,
“Jangan Salahkan Baju Kami, Hukum Si Pemerkosa”,
“Don’t Tell Us How to Dress, But Tell Them Not to Rape”,
“Tubuhku Tidak Porno, yang Porno Otakmu”,
“My Rok Mini, My Right, Foke You”,
“Kendalikan Nafsumu, Bukan Kendalikan Pakaianku”

Iya, Oom Foke ini lupa. Oom Foke lupa kalo di dunia ini ada juga tipe-tipe manusia yang modelnya kayak Faizudin temanku itu, yang justru malah makin terangsang kalo si wanita menutup rapat auratnya :mrgreen: Yang salah tetap pemerkosanya. Yang salah tetap si maling hape di kamar adikku ketika jendela sudah tertutup rapat.

Jadi begini…

Jaman dulu rumahku juga pernah kemasukan maling. Si maling masuk ke rumah dengan menjebol jendela di kamar adikku – yang terletak di bagian belakang rumah – yang menghadap ke arah kebon pisang tetangga nan gelap gulita. Kejadiannya selepas Isya, padahal waktu itu aku sama adikku di dalam rumah juga. Adikku nonton tivi di ruang depan sementara aku – seperti biasa – lagi asyik baca-baca novel di kamarku sendiri dengan pintu tertutup.

denah rumah si ganteng

Lagi asyik-asyiknya baca novel, tiba-tiba adikku berteriak histeris, “Mas, Mas! Maling, Mas!”

Aku kaget dan kontan tergopoh-gopoh. Novel yang sedang kubaca kulemparkan dan secepat kilat masuk ke kamar adikku. Tanganku terkepal dengan posisi siap perang, tapi sejurus kemudian cuma bisa melongo. Nggak ada manusia yang layak dapat gelar maling di kamar adikku. Aku cuma mendapati jejak-jejak kaki dan kamar yang acak-acakan yang jelas bukan gaya khas adikku ketika menata kamar. “Jangan pegang apapun. Lapor ke polisi dulu sana,” kataku kemudian, meniru standar Detektif Conan kalo berkunjung ke TKP.

Sementara adikku ke pos polisi, aku menelepon Azis dan Komeng, minta tolong ke mereka supaya njagain rumah sebentar, kali-kali aja habis ini aku harus nemenin adikku ngasih keterangan di kantor polisi. Sambil menunggu 2 sejoli barusan di atas, aku iseng melihat-lihat sekelilingku. Jendela dijebol paksa dari luar. Slot kuncinya dirusak. Tapi kayaknya si maling terburu-buru juga, wong hape adikku yang sebiji lagi masih ada di situ. Yang diambil cuma hape lawas seri Nokia 3315.

Kemudian berbarengan dengan pak polisi-polisi, Azis dan Komeng datang. Setelah olah TKP sebentar, benar saja, aku digelandang ke kantor polisi. Rada kampret, aku didudukin di bak belakang mobil polisinya yang terbuka. Jadi kalo sepanjang Jalan Gejayan sampai Ringroad Utara ada yang melihatku dan kemudian membatin, “Ini anak…masih muda, ganteng pula…tapi kok ya jadi bandar narkoba,” aku nggak bakal nyalahin mereka. Penampilanku waktu itu memang macam reseller narkotika kena inspeksi mendadak. Nggak sempat yang namanya dandan dulu ganti baju.

Sampai di situ aku ditanya-tanya sebentar kemudian dipersilakan pulang. Lha maling hapenya piye? Alhamdulillah sampe sekarang nggak ketangkep!

Begitulah… Buat kasus pemerkosaan yang korbannya kebetulan sudah menutup aurat, aku berpendapat kalo pemerkosanya ini bermental macam maling hape di rumahku itu. Sudah tau jendelanya dikunci, tetap aja nekad merusak dan masuk. Betul-betul ndak tau diri. Mbok ya adikku itu sedikit dihargai, tho… Wong dia sudah melakukan tindakan preventif, kok, ya masih nekad dijadikan korban, sih?

Sementara buat pemerkosa yang korbannya memakai rok mini, aku berpendapat pemerkosanya punya mental macam maling sepatu di teras rumah. Siapa yang salah? Yang salah tetap pemerkosanya. Yang salah tetap malingnya, walaupun rasa-rasanya si Ganggas juga punya saham kesalahan di dalamnya. Lagipula, secara teori, pengguna rok mini itu lebih mudah dilucuti, kan? 😈

Maka sebagai penutup perjumpaan kita pada hari ini, izinkanlah aku sedikit berpendapat: dunia kita ini tidaklah ditinggali oleh Biksu Tong saja. Tidak semua pejantan bisa mengendalikan nafsunya πŸ˜‰


Facebook comments:

21 Comments

  • yudi |

    anggep saja lah misal yang salah rok mini :

    angkot 1 : ada pok nori pake rok mini tanpa CD (ga bawa compact disc maksudnya)

    angkot 2 : ada julie estelle atau citra kirana pake celana panjang, kemeja panjang, sarung tangan, kaos kaki, rompi anti peluru, iket kepala rambo, syal harry potter.

    jika anda jadi pemerk0s4, kira2 angkot manakah yang lebih enak dijadikan tempat pelampiasan nafsu? 😳

  • yudi |

    dan jika ternyata jawabane adalah angkot 2 maka yang harus disalahkan adalah wajah cantik dan bodi seksi, bukan rok mini.

    Himbauannya yang bener adalah “janganlah cantik dan seksi, karena anda mengundang bahaya di angkot”

    tentu saja ini hanya pendapat subjektif yang sangat tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya hehe…

  • yudi |

    ah swallow situ habis nginjek *** mungkin πŸ˜† kalo ga palingan juga ikut diembat, kan lumayan buat nyuci di sumur tu swallow, masak malingnya nyuci pake pantovel :mrgreen:

  • ayuk pipit |

    mmmmm sangat situasional sekali. siapa yang paling berpengaruh pada saat situasi itu. apa setan? apa malaikat? kalo setan yang lagi ngaruh hebat-hebatnya… mau pake purdah yang ketutup pake baju kayak karung, tetep aja bisa jadi korban pemerkosaan.
    tapi… kalo si malaikat yang lagi bercokol, mau bugil juga mikir… –>mikir nyari tempat buat memperkosa. ya kan?
    dasar… >:)

  • Yang Punya Diary |

    yudi:::
    kalo malingnya ndak punya sumur bagemana?

    ayuk pipit:::
    suatu saat nanti, ketika telanjang di jalanan sudah menjadi hal yang lumrah, percayalah, rok mini tidak akan lagi menjadi sebuah sensasi 😈

  • ayuk pipit |

    lagian knapa sih pake dilarang-larang?
    yang dibebasin aja masih mikir kok mau dilakuin apa gak?
    setidaknya… kalo ngukur sesuatu, gak cuma pake satu parameter saja.

  • Yang Punya Diary |

    oh, kalo saya, ini bukan masalah pelarangannya, kok. saya cuma pengen semua orang bisa seperti ganggas waktu sepatunya ilang. at least tidak serta-merta menimpakan segala kesalahan ke malingnya. waktu itu dia bilang, ya sudahlah, mau bagaimana lagi? wong dia juga urun keteledoran dalam peristiwa itu, kok.

    sesimpel itu πŸ˜‰

  • ayuk pipit |

    ewwwww fokus saya ke rok mini. tapi ternyata anda ke sepatu. itu loh maksud saya. :p

  • Gothiet |

    Hp ku yg ilang bukan nokia 3315 ya..ngenyek bgt,emang aq semiskin itu? Yg ilang motorola baru ya,tp aq lupa serinya apa,sisa dusnya masi ada di rmh tu..silakan liat apa serinya..selain hp,dompet saya jg ilang ya..

  • Raffaell |

    Waish, ceritanya memang penuh rantai mas, hehehe, dari Ganggas ke Foke, mengenai penilaian itu bisa diliat dari mana mana sih… Tergantung perspektif sendiri. Sebage masyarakat juga punya refleksi sendiri atas tanggapan mereka.

  • ayuk pipit |

    ummmm masalah persepsi toh.ternyata persepsi sang penulis beda ma persepsi yg mbaca.mau pemerkosa atau maling ya tetep aja maling.pemerkosa ya maling,maling ya maling.n tujuan maling ya cuma satu, pemenuhan dorongan.dorongan kebutuhan apa dorongan keinginan?ya cuma si maling yang tau. πŸ˜€
    ya gak mas ganteng?semua orang punya bakat jadi maling,tgl gmn dia mengasah bakatnya dan seleksi alam.

  • dudi jaya |

    membacanya jujur saya sangat tergelitik. Gaya bahasanya ringan, tapi nonjok banget. hehe. Kalo semua orang punya bakat maling, saya lihat yang nulis ini punya bakat novelis dan kritikus. πŸ™‚

  • Yang Punya Diary |

    Raffaell:::
    ahe…yah, perspektif dan jalan apapun yang dipilih silakan saja. hidup ini toh memang simpel. isinya cuma pilihan dan konsekuensi atas pilihan yang kita pilih. taruh sepatu di teras atau di dalam rumah, itu pilihan. dan masing-masing mengandung konsekuensinya sendiri-sendiri πŸ˜€

    ayuk pipit:::
    make it two. semua orang punya bakat pemerkosa. tinggal menunggu situasi dan kondisi yang cocok untuk membuat bakatnya terasah sempurna πŸ™‚

    dudi jaya:::
    saya memang kritikus, kok. kritikus bola dan musik, lebih tepatnya. tapi khas endonesa sih: di mana seorang kritikus biasanya nggak lebih jago ketimbang yang dikritik. buktinya saya cuma bisa main gitar 3 jurus, hahaha

  • aphip_uhuy |

    koq nama samaran saia disebut jon -_-‘ hmmm.. itu masa lalu jon.. skrg insya Allah masih #eh πŸ˜› ha3.. kadang saia juga heran apa maunya yg demo rok mini itu.. orang mau dilindungi dan ingatkan biar bisa mawas diri malah.. yg namanya kejahatan tu selain niat juga ada kesempatan.. tapi kadang kesempatan yg sudah terbuka lebar pun dibiarkan saja, sehingga malah dicuri orang yg sudah kerja, ato malah kabur ke aceh *loh koq gak nyambung ya πŸ˜› ha3.. ben kelingan ben kagol πŸ˜›

  • ayuk pipit |

    semakin bertambah pengetahuan biasanya diikuti dengan semakin terasahnya bakat.

  • Yang Punya Diary |

    aphip_uhuy:::
    minggat, phep!

    ayuk pipit:::
    biasanya memang begitu

    wahyu asyari m:::
    bukannya dari dulu yang namanya maling ya memang kayak gitu? :mrgreen:

So, what do you think?