“Saya cuma beruntung, kok.”
Biasanya waktu aku ngobrol, dan aku memuji kehebatan lawan bicaraku gara-gara prestasi yang baru aja dia buat, lalu dia mengucapkan kalimat macam di atas, respekku terhadap beliau normalnya jadi naik. Betapa tidak, soalnya ucapan seperti itu akan membuatku menilai bahwa lawan ngomongku itu adalah seorang yang rendah hati. Bahkan kalau orang yang kuajak bicara itu sudah lebih dulu kukenal sebagai orang yang jujur bin tidak pecicilan, aku malah akan menilainya sebagai orang yang rendah hati sehati-hatinya.
Tapi bagaimana dengan orang yang berucap, “Kamu itu beruntung,”?
Mohon maaf, pertama-tama aku bakal menilai orang yang seperti itu adalah jenis manusia yang menyimpan ketidak-terimaan sekalipun ukuran ketidak-terimaannya itu dalam skala mikroskopik, atau malah molekuler. Buatku itu sama saja. Mau sekecil apapun, ketidak-terimaan adalah ketidak-terimaan.
Kedua-dua, kenapa begitu?
Karena begini…
Coba kita pikir, kenapa kita mengucapkan “kamu itu beruntung” kalau itu bukan karena penilaian awal kita terhadap kemampuan seseorang? Kenapa kita mesti bilang seseorang itu sedang beruntung, kalau sejak awal kita memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap kemampuannya dalam mengatasi sebuah perkara? Bukankah “kamu itu beruntung” itu adalah bahasa yang kita gunakan saat kita (terpaksa) menerima fakta bahwa orang yang tadinya kita anggap tidak punya cukup kemampuan ternyata mampu melakukan sesuatu di luar ekspektasi kita? Atau, tidakkah “kamu itu beruntung” itu keluar dari bibir kita – baik yang memang memble ataupun yang jontor – saat ada orang lain yang menerima suatu kesenangan yang – gembelnya – tidaklah bisa kita dapatkan?
Harusnya sesuatu itu untuk kita, kan? Iya, untuk kita! Untuk kita karena memang darah murni seperti kitalah pantas mendapatkannya. Yang tidak seperti kita ya sudah jelas sangat tidak pantas buat mendapatkannya. Maka ketika ternyata sesuatu tersebut tidaklah kita terima, malah justru kaum berdarah campuran itu yang menikmatinya, maka apalagi penjelasannya selain karena mereka itu memang cuma lagi beruntung?
Jadi, mau para muggle itu cuma bisa mendapatkannya sekali atau 3 kali, namanya saja kaum kelas 2, kalau mereka memperolehnya cuma sekali, ya itu berarti mereka memang cuma beruntung sekali. Lalu kalaupun mereka bisa memperolehnya sampai 2, 3, 4, atau 5 kali, ya itu berarti mereka memang beruntungnya sampai 2, 3, 4, atau 5 kali juga itu tadi. Pokoknya, buat para kampret yang kemampuannya kita tahu ada di bawah kita tapi di lapangan ternyata bisa mengungguli sangkaan kita, tidak bisa tidak, tidak ada penjelasan lain yang lebih ilmiah untuk fenomena demikian selain keberuntungan.
Jangan sampai kita beranggapan bahwa keberuntungan itu tidak ada, cuma omong-kosong. Lucky is bullshit. Jangan! Jangan sampai kita punya anggapan macam demikian. Keberuntungan itu ada, sodara-sodara! Jangan sampai juga kita beranggapan bahwa keberuntungan itu adalah saat bertemunya kesempatan dan kesiapan. Sekali-kali pun jangan!
Kenapa?
Karena, eh, karena kalau saja kita sampai terprovokasi oleh pendapat nan demikian, itu artinya sama dengan kita mengakui bahwa ternyata di dunia ini ada makhluk bangke yang memiliki kesiapan di atas kesiapan kita. Kalau itu sampai terjadi, itu berarti kita tidak akan bisa dan boleh lagi menilai bahwa orang lain tidaklah sehebat kita.
Maka dari itu, untuk melindungi gengsi kita sebagai manusia papan atas, kita haruslah senantiasa melestarikan kebiasaan untuk berucap, “Kamu itu beruntung!”
Kamu itu beruntu
namanya juga anak muda. jelas saya masih punya untu binti belum ompong. dong ora e?