Bird’s-eye View

Coba, deh, kalau ada pertandingan bal-balan, siapa yang lebih jago dalam menilai dan mengamati jalannya pertandingan? Siapa hayo? Pemainnya atau komentatornya?

Aku setuju kalau sampeyan bilang bahwa komentator itu bisanya omong thok, nggak jago main bola tapi sudah berani ngritik permainannya pemain bola beneran yang sedang berjibaku di lapangan. “Coba dulu sana kamu yang main, jangan asal ngasih komentar!” begitu biasanya sungut kebanyakan dari kita. Iya, kan? Iya aja, deh.

Iya, aku memang setuju kalau dalam urusan main bola belum tentu si komentator bisa menggiring, mengumpan, ataupun menembak seperti pemain yang sedang dikomentarinya. Tapi kalau ada yang bilang bahwa dalam mengamati jalannya pertandingan pemain di lapangan lebih jago dari komentatornya, oho…nanti dulu, Dab. Aku malah haqqul yaqin justru komentatornyalah yang lebih jago dari si pemain dalam hal mengamati jalannya pertandingan.

Karena apa?

Karena, sederhana saja, yang namanya komentator itu punya bird’s-eye view, sesuatu yang nggak dipunyai pemain-pemain di lapangan. Otomatis kalau si Bram memaki, “Oper ke kanan, goblok! Lha, kok, malah ke belakang… Itu, lho, sayap kananmu bebas!” ketika sedang nonton bola di tipinya yang ukuran 50 inchi, si Bram nggak berhak dimaki balik sebagai orang sok tau. Dalam hal ini si Bram memang lebih jago ketimbang Ronaldinho Gaucho ketika sedang mendribel bola sekalipun. Si Bram punya bird’s-eye view, bisa melihat keseluruhan kondisi medan jurit, sementara Ronaldinho yang lagi menari-nari di lapangan jelas tidak.

Dribelnya Leo Messi bolehlah lengket, giginya Luis Suarez bolehlah tonggos, tapi ketika Barcelona sedang berjuang akulah yang lebih tau kapan bola harus dioper dan kapan harus ditembak. Untuk urusan beginian yang namanya komentator pastilah lebih obyektif ketimbang yang main itu sendiri. Karena apa? Ya karena bird’s-eye view itu tadi. Penonton punya jelajah pandangan yang lebih luas ketimbang seorang Andik Vermansyah atau Vata Matanu Garcia saat mereka sedang berlaga.

Maka oleh sebab-musabab seperti di atas itu pun jua, boleh jadi dalam beberapa urusan dunia, pihak ketiga bisa jauh lebih obyektif dalam mengamati jalannya sebuah persoalan ketimbang sampeyan yang langsung mengalaminya. Karenanya kadang aku suka heran, betapa ada orang yang tidak suka menerima opini dan masukan, serta selalu merasa bahwa dirinya jauh lebih tau tentang apa yang harus dilakukan dalam hidupnya ketimbang pihak ketiga yang dirasanya sedang sok tau tentang dirinya. Padahal bisa saja si oknum ini mata dan hatinya sedang dibutakan oleh ilusi sementara.

Ah, lagipula bukankah kita ini sebenarnya tidak berhak menilai diri kita sendiri? Bukankah kita ini aslinya tidak seberhak orang lain dalam urusan menilai diri kita? Siapa yang berhak menilai diri kita ini baik, dan siapa juga yang berhak menilai diri kita ini brengsek? Tentu saja orang lain. Iya, orang lain. Orang lain yang merasakan kebaikan dari sikap kita terhadapnyalah yang berhak menilai diri kita ini sebagai orang baik, dan orang lain yang dirugikan oleh tindakan kitalah yang berhak menilai kita ini sebagai orang brengsek.

Maka kalau ente masih merasa orang lain tidaklah berhak untuk menilai dan mengomentari tingkah laku ente, yeah, paling-paling itu cuma gara-gara ente sedang berusaha untuk melindungi gengsi ente sahaja. Sampeyan cuma nggak rela kalau ada yang lebih pintar dari sampeyan belaka. Demikianlah adanya 🙂


Facebook comments:

So, what do you think?