Tidak Mau Tapi Tidak Mau

Kalau nggak sedang dalam setelan nyebahi, Septri sebenarnya adalah lawan ngobrol yang asyik. Ditambah pengetahuan serta pengalamannya dalam bidang klenik dan kejawen, Septri seaslinya adalah narasumber yang pas untuk bicara persoalan gho’ib, proyeksi astral, spektrum cahaya, neuroscience, sampai dengan fisika kuantum. Pernah suatu kali dia nunjukin notes berisi coret-coretan tangannya tentang beberapa konsep persamaan kuantum hasil olah-pikirnya sendiri. Tapi ya sayangnya gara-gara rumusan itu dibikin sama Septri, lebih amannya kalau itung-itungan tersebut tidak langsung kita percayai. Lebih sayangnya lagi, Septri ini lebih sering berada dalam mode nyebahi. Untung saja anaknya nrimo kalau diejek-ejek, jadinya kami-kami ini masih sudi menemani. Lumayan…ada bahan ledekan.

Pernah dulu anak-anak membuat sebuah permufakatan jahat kepada Septri yang kala itu masih terhitung sebagai mahasiswa baru di jurusan kami. “Hayo, kamu pilih mana, kita nggak bakal ngeledek kamu lagi tapi kamu kita kucilkan, atau boleh berteman tapi kita jadikan bahan ejekan?” tanya senior-seniornya di kampus. Continue Reading


Delusi Mantan Pacar

Temenku dari jaman esempe, Ngurah Bikul, pernah berteori. Katanya, selain kampung halamannya, orang biasanya bakal betah sama tempat di mana dia menghabiskan masa remajanya. Maka walaupun belum di-peer review, teori van Bikul tersebut akhirnya menjawab keherananku, kenapa kok ada orang yang bukan asli Jakarta tapi betah sama Jakarta. Rupa-rupanya itu sama saja dengan betahku sama Jokja; mereka berdua adalah mantan pacar yang tidak bisa dilupakan oleh masing-masing kami.

Tapi ada juga manusia yang kadar delusinya akut, menganggap mantan pacarnya masihlah pacarnya yang memang seharusnya seperti itu. Saking memang-seharusnya-seperti-itulah akhirnya semuanya malah jadi biasa-biasa aja, seperti kalo sampeyan sudah jalan lebih dari 2 tahun sama pacar sampeyan. Hari-hari rasanya ya biasa-biasa belaka. Tapi kalo kemudian bubar rasanya bingung, gamang, ada yang hilang. Semprul!
Continue Reading


Silvi dan Sombong

Silvi, temen seangkatanku di kampus dulu tapi beda program studi meskipun 1 jurusan, dalam sebuah kesempatan makan-makan pernah bilang kalau sombong adalah kesan-kesan awalnya terhadapku pas jaman dulu itu. Makanya waktu awal-awal kuliah kami nggak akrab. Sombongku luar biasa, begitu sungutnya, apalagi untuk ukuran pria kecil tapi dengan gestur tubuh yang selalu berjalan dengan kepala sedikit ndangak ๐Ÿ˜†

(Eh, “ndangak” itu apa, sih, bahasa Indonesia-nya? Ah, ya, “menengadah”) Continue Reading


5 Mahasiswi Cantik Ilmu Komputer UGM

Kadang buru-buru selesai kuliah bikin daku menyesal juga. Betapa tidak, soalnya perkembangan jaman dan teknologi sekarang ini sering membuat daku berpikir, sentul kenyut, jadi mahasiswa jaman sekarang ternyata enak belaka!

Aku kuliah di era teknologi informasi, dan sekarang ternyata sudah era big data, di mana apa-apa rasanya gampang, segampang jempol neken-neken layar sentuh di hape kita masing-masing. Maka sehubungan dengan kemudahan itu, hal yang paling membuat aku iri adalah gampangnya dapet informasi seputaran gadis manis. Kalau saja jaman dulu itu sudah ada Instagram model sekarang, pastilah hobiku ngecengin mahasiswi cantik bisa lebih terealisasikan dengan optimal. Dulu itu aku harus nyari info kiri-kanan, je… Dari angkringan ke angkringan. Continue Reading


Memetakan Marah

“Fear the fury of a patient man.”
Nicholas Mario Wardhana, kandidat Ph.D. dari NTU

Kapan hari kemarin mendadak aku dapat wangsit. Ya, namanya aja manusia linuwih…orang-orang kayak aku ini kadang-kadang memang suka dapat pencerahan di waktu dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Kampretnya si pencerahan ini memang agak nggak tau adat. Malam menjelang libur, seenaknya aja beliau itu hadir tanpa diundang. Continue Reading


Remaja Masa Kini

Urusan sesuk yo dipikir sesuk.

Si Mbak di Jokja punya kebiasaan: Setiap kali aku pulang ke Jokja, yang biasanya berlangsung kalau weekend aja, sesaat setelah ketawa-tawa beliau mesti habis itu jadi sendu. “Tapi besok kamu sudah balik lagi ke Jakarta ya?” keluhnya sambil bertanya dengan penuh retorika.

Kalau sudah begitu ya yang bisa kulakukan cuma nyengir sahaja. “Urusan besok ya dipikir besok,” demikianlah biasanya jawabanku. “Yang penting lak sekarang aku di depanmu tho?” lanjutku kemudian. Continue Reading


Bird’s-eye View

Coba, deh, kalau ada pertandingan bal-balan, siapa yang lebih jago dalam menilai dan mengamati jalannya pertandingan? Siapa hayo? Pemainnya atau komentatornya?

Aku setuju kalau sampeyan bilang bahwa komentator itu bisanya omong thok, nggak jago main bola tapi sudah berani ngritik permainannya pemain bola beneran yang sedang berjibaku di lapangan. “Coba dulu sana kamu yang main, jangan asal ngasih komentar!” begitu biasanya sungut kebanyakan dari kita. Iya, kan? Iya aja, deh. Continue Reading


Ikhlas

Nek aku ra ngomong nek aku ikhlas, piye carane kowe-kowe ngerti nek aku ikhlas?

Konon diomongkan oleh si Ceper. Lengkapnya Ceperus Snape, manusia paling…paling…paling…paling apa ya? Paling sompret yang pernah kutemui di kampusku, dah! Alhamdulillah orangnya sampai sekarang belum wisuda-wisuda juga.

Terjemahannya kira-kira begini: Kalau aku nggak ngomong kalau aku ikhlas, gimana caranya kalian tau kalau aku ikhlas? Continue Reading



Ancaman Rasionalitas di Balik Pertanyaan “Kapan Kawin?”

Pertama-tama walaupun Lebaran sudah lewat semingguan, izinkanlah beta mengucapkan mohon maaf lahir dan batin karena beta sendiri barulah mulai cuti hari ini buat mudik ke kampung. Maka karena apa, sih, esensi dari Lebaran di Endonesa selain mudik ke kampung, ya beta pikir tiada mengapa jikalau beta baru minta maafnya hari ini. Iya tho? Iya kan? Mbok wis iya aja, deh.

Dan sebagaimana biasanya ritual tahunan di kampung, pertanyaan yang paling sering jadi pembahasan di media-media sosial seputar Lebaran adalah pertanyaan “kapan kawin?”. Maka daripada itu, mumpung masih di jalan, mumpung belum nyampe ke kampung, aku mau cerita seputar problem kawin-kawinan. Continue Reading


Benci Itu Ya Benci

Suatu kapan malam kemarin, sambil nunggu sahur, Josephine pernah bilang kalau sabar itu aslinya nggak ada batasnya. Iya, sabar sebagai sebuah kata sifat memang nggak ada batasnya. Batas itu jadi kelihatan ketika sampai pada level implementasi dari manusianya. Misalnya, level sabarku, level sabarnya Pak Gendut, atau level sabarnya Saripah ternyata bisa berbeda-beda ketika menghadapi kasus yang sama. Jadi jelas, sabar itu bisa kelihatan serba terbatas ya ketika sudah diterapkan sama manusianya.

Begitu juga dengan benci. Continue Reading


Pages:12345678...41